Samboja Barat, Kutai Kartanegara — Ratusan petani karet di Desa Tani Bakti, Kecamatan Samboja Barat, terpaksa menghentikan aktivitas menyadap karet selama lebih dari sebulan terakhir akibat banjir yang merendam kebun mereka. Karet yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat desa kini tak bisa lagi diandalkan, sementara tidak ada alternatif penghasilan lain yang tersedia.
Banjir yang terjadi sejak awal Mei ini disebut belum juga surut. Warga menyebutkan bahwa kebun-kebun yang terendam adalah lahan milik pribadi yang belum dibebaskan oleh perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar wilayah desa.
“Sudah lebih dari sebulan kami tidak bisa menyadap karet. Semua kebun terendam air, dan tidak bisa dimasuki. Ini satu-satunya mata pencaharian kami di sini,” ungkap salah satu petani karet di desa tersebut, saat di hubungi pada selasa (27/5/2025).
**Akses Terputus Akibat Proyek Jalan Tambang**
Selain banjir, warga juga mengeluhkan terputusnya akses jalan menuju kebun. Jalan yang biasa digunakan petani kini tak bisa dilalui karena proyek pembangunan jalan tambang milik salah satu perusahaan.
“Jalan ke kebun sudah tidak bisa dilewati. Ada proyek jalan tambang di tengah-tengah jalur kami, dan tidak disediakan alternatif jalur lain. Jadi meskipun ada kebun yang tidak banjir, kami tetap tidak bisa ke sana,” lanjutkan nya.
**Harga Ganti Rugi Tidak Manusiawi**
Yang makin memprihatinkan, perusahaan tambang sempat menawarkan pembebasan lahan kepada warga, namun dengan harga yang dinilai tidak sebanding. Warga merasa dipaksa melepas lahan mereka dengan harga murah, padahal kebun karet itu telah menjadi sumber penghidupan turun-temurun.
“Penawaran dari perusahaan sangat tidak masuk akal. Kami disuruh jual kebun dengan harga jauh dari wajar. Makanya warga menolak dan tetap mempertahankan tanah mereka,” kata warga lainnya.
**Warga Minta DPRD Provinsi Turun Tangan**
Melihat kondisi yang makin memprihatinkan, warga berharap ada perhatian dari pemerintah, khususnya DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Mereka meminta agar persoalan ini bisa dilaporkan secara resmi dan pihak perusahaan bisa dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban.
“Kami ingin lapor ke DPR Provinsi, agar perusahaan dipanggil dan diberi arahan. Kami tidak anti terhadap tambang, tapi jangan sampai merusak satu-satunya sumber penghidupan kami,” tambah warga.
Warga juga berharap agar ke depan ada perbaikan dalam sistem tata kelola kegiatan pertambangan, termasuk penataan drainase dan tanggung jawab terhadap akses jalan masyarakat.