Di sebuah negeri yang sibuk mencetak juara olimpiade, juara debat, dan ranking satu kelas, ada satu hal yang kadang terlupa: bagaimana caranya membuat anak muda merasa cukup dengan dirinya sendiri.
Bukan soal nilai rapor atau gelar juara umum tapi soal hati, perasaan, dan bagaimana mereka memandang dirinya di tengah dunia yang ramai menuntut ini-itu.
Remaja itu unik. Mereka sedang belajar menjadi dewasa tapi masih ingin memeluk masa kanak-kanak.
Tubuh mereka berubah, suara mereka berubah, bahkan cara orang dewasa memandang mereka pun ikut berubah. Tapi yang paling liar dari semua itu adalah gelombang dalam diri mereka sendiri emosi yang datang dan pergi tanpa aba-aba.
Di tengah semua itu, ada satu hal yang diam-diam sangat menentukan: konsep diri. Sederhananya, ini soal bagaimana seorang remaja menilai dirinya sendiri.
Apakah ia melihat dirinya berharga? Apakah ia merasa cukup pintar, cukup baik, cukup layak untuk dicintai.?
Nah, dari sinilah cerita menarik ini bermula. Sebuah penelitian kecil dilakukan, melibatkan 70 remaja.
Mereka duduk di antara bangku-bangku kelas dan mimpi-mimpi yang belum sempat mereka ceritakan.
Dua alat ukur digunakan: satu untuk mengintip bagaimana mereka menilai dirinya sendiri, dan satu lagi untuk melihat seberapa cakap mereka mengelola emosi, mulai dari mengenali perasaan sendiri, hingga menenangkan diri saat amarah meledak-ledak.
Hasilnya? Cukup membuka mata. Ternyata, semakin positif pandangan remaja terhadap dirinya,
semakin baik pula kemampuan mereka dalam mengelola emosi. Seolah-olah, ketika seseorang percaya bahwa dirinya berharga, maka dunia pun jadi terasa lebih mudah dipahami. Meski tidak selalu ramah.
Remaja dengan konsep diri yang sehat akan lebih tenang menghadapi kegagalan, lebih tahan banting
saat ditolak, dan lebih mudah bangkit dari kecewa. Mereka tahu bahwa luka bukan akhir dari segalanya,
melainkan bagian dari proses tumbuh. Sebaliknya, remaja yang merasa dirinya “kurang” cenderung
rapuh, sedikit ombak saja bisa mengguncang perahu kecil dalam dadanya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Mungkin kita tak bisa selalu memegang tangan mereka, tapi kita bisa jadi tempat mereka pulang. Kita
bisa mendengarkan tanpa menghakimi, memuji tanpa membuat mereka tergantung pada validasi. Kita
bisa hadir. Saat mereka ingin bicara, bahkan ketika yang mereka ucapkan hanya gumaman tentang hari
yang buruk.
Karena di balik angka IQ yang tinggi, nilai sempurna, dan prestasi segunung, ada hati yang ingin
dimengerti. Dan siapa tahu, dengan hati yang cukup kuat, mereka bisa menaklukkan dunia bukan karena
mereka sempurna, tapi karena mereka tahu caranya berdamai dengan diri sendiri.
Penulis: Zahra Nuraifa, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.