Penulis: Rio Ferdinand, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.
“Bayangkan, enam dari sepuluh orang yang kita jumpai di jalan—di pasar, halte, stasiun atau kampus—sebenarnya sedang bergulat dengan kemiskinan.”
Pernyataan ini bukan retorika semata. Data Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (2024) menyebutkan bahwa 60 persen masyarakat Indonesia masuk kategori miskin rentan. Mereka bukan sekadar hidup pas-pasan, tetapi berada satu langkah dari jurang kemiskinan ekstrem akibat kehilangan pekerjaan, kenaikan harga bahan pokok, atau musibah kesehatan.
Di tengah angka mencengangkan ini, masih pantaskah kita bicara tentang motivasi hidup?
Realita Pahit di Balik Poster Inspiratif
Motivasi hidup sering tampil manis dalam kutipan Instagram, buku self-help, atau seminar motivasi. Kata-kata seperti “jangan menyerah”, “percaya pada diri sendiri”, atau “sukses adalah pilihan” terdengar sangat memikat. Namun kenyataan di lapangan jauh lebih getir. Motivasi tidak lahir dari kata-kata indah, melainkan dari keadaan yang memberi ruang untuk bermimpi.
Ketika 60 persen warga justru sibuk bertahan hidup, maka motivasi kehilangan pijakannya.
Menyibak Lapisan Masalah dan Solusi
1. Motivasi: Bukan Cuma Masalah Kemauan, Tapi Juga Akses
Banyak studi psikologi dan sosiologi menyimpulkan bahwa motivasi erat kaitannya dengan struktur kesempatan dan lingkungan. Daniel Pink, dalam bukunya Drive, menekankan bahwa motivasi internal membutuhkan tiga hal: otonomi, kompetensi, dan tujuan. Sayangnya, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tergolong miskin rentan, ketiga syarat ini nyaris tak tersedia.
Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985) juga menggarisbawahi pentingnya kontrol, keterhubungan sosial, dan kompetensi. Ketika seseorang bekerja tanpa kepastian, hidup dalam tekanan ekonomi, dan tidak punya akses untuk belajar atau berkembang, maka daya juangnya pun terkikis perlahan.
Contoh nyatanya: Seseorang bisa sangat ingin berbisnis, namun jika tak ada modal, tak ada jaringan, dan dibebani cicilan, keinginan itu hanyalah ilusi yang menguras tenaga batin.
2. Ketika Kemiskinan Jadi Sistem, Bukan Sekadar Nasib
Bank Dunia menyebut bahwa batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas adalah US$6,85 (sekitar Rp115.000) per orang per hari. Dengan batas itu, 60,3% penduduk Indonesia—sekitar 171,9 juta orang—tergolong miskin.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah potret bahwa akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, bahkan waktu luang untuk belajar atau beristirahat masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka hidup dalam keletihan struktural.
Sebaliknya, BPS mencatat bahwa kemiskinan nasional hanya 8,57%. Mengapa berbeda jauh? Karena BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yang mengacu pada kebutuhan minimum berdasarkan harga lokal. Sedangkan Bank Dunia memakai standar global berbasis Purchasing Power Parity (PPP), yang mencerminkan daya beli internasional.
Perbedaan metodologi ini penting disadari agar kita tidak terbuai oleh optimisme semu. Bisa jadi, seseorang dianggap “tidak miskin” secara nasional, tapi ia tetap tak mampu membeli susu untuk anaknya atau membayar listrik tepat waktu.
3. Ketimpangan ASEAN: Miskin di Tengah Negara Kaya
Bank Dunia juga mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi dalam persentase penduduk miskin di Asia Tenggara, hanya kalah dari Laos. Malaysia (1,3%) dan Thailand (7,1%) tampak jauh lebih sejahtera. Bahkan Filipina, yang sering dikatakan memiliki tantangan sosial ekonomi yang mirip, hanya mencatat 50,6% penduduk miskin berdasarkan ambang batas yang sama.
Mengapa ini terjadi? Salah satunya karena pertumbuhan ekonomi Indonesia belum inklusif. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia tahun 2024 hanya US$4.958—jauh di bawah rata-rata global US$13.933. Artinya, kita berlari di lintasan global, tapi dengan beban ketimpangan yang jauh lebih berat.
4. Solusi dan Refleksi: Harapan yang Realistis dan Struktural
Dalam situasi darurat kemiskinan, motivasi tidak bisa lagi dilihat sebagai soal pribadi. Ia harus menjadi gerakan kolektif. Negara harus hadir bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai pemantik dan pelindung.
Program seperti bantuan sosial, Kartu Prakerja, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan penguatan UMKM adalah langkah-langkah penting. Namun belum cukup. Harus ada reformasi struktural dalam sistem pendidikan, perpajakan, dan ketenagakerjaan agar rakyat benar-benar punya ruang untuk bermimpi.
Bank Dunia memperkirakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi stabil di atas 6%, maka kemiskinan bisa turun menjadi 55,5% pada 2027. Tapi ini hanya mungkin jika pembangunan benar-benar menyentuh rakyat bawah, bukan hanya berputar di infrastruktur dan investasi elite.
Mengembalikan Makna “Motivasi”
Kita perlu redefinisi. Motivasi bukan sekadar “kerja keras untuk sukses” seperti narasi seminar. Dalam konteks kemiskinan struktural, motivasi harus dimaknai sebagai daya juang untuk bertahan—dengan dukungan sistemik.
Contohnya, seorang ibu yang menjual jagung rebus sambil menyekolahkan tiga anaknya, atau pemuda di desa yang bertani sambil mengajar les. Mereka bukan hanya termotivasi, tapi juga menghadapi rintangan struktural yang tak dimiliki motivator-motivator kelas menengah.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Bagi kita yang punya akses lebih—mahasiswa, profesional, pemilik media sosial—tugasnya bukan hanya memahami data, tapi memperjuangkan narasi.
Dukung kebijakan pro-rakyat. Lawan romantisasi kemiskinan. Jangan hanya bilang “rakyat Indonesia tangguh”, jika tidak berbuat sesuatu untuk menghapus penyebab penderitaan itu.
Motivasi sejati bukan dalam seminar, tapi dalam kebijakan yang adil.
Harapan Tak Pernah Mati, Tapi Ia Butuh Nafas
Di tengah data yang mengabarkan kerapuhan, motivasi hidup memang tampak seperti kemewahan. Tapi justru karena itu, kita harus berjuang lebih keras menjadikannya nyata.
Motivasi bukan cuma tugas individu. Ia adalah hasil dari sistem yang memberi ruang untuk bermimpi, gagal, dan bangkit. Maka mari kita ubah narasi: dari motivasi sebagai ceramah, menjadi motivasi sebagai sistem.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.”
Maka biarlah artikel ini menjadi suara kecil dari jutaan suara yang terlalu lama dibungkam oleh angka kemiskinan.
Mereka bukan hanya statistik. Mereka adalah wajah Indonesia.