Peran Empati Dalam Membangun Hubungan Yang Positif

Tue, 3 Jun 2025 02:26:46 Dilihat 80 kali Author gerbangn
Ilustrasi
Ilustrasi

Penulis: Khaylila Safitri, Mahasiswa Politeknik Jakarta

Di tengah dunia yang semakin terkoneksi secara digital namun terputus secara emosional, empati menjadi kebutuhan yang sering terlupakan. Banyak hubungan, baik personal maupun profesional, gagal bukan karena kurangnya komunikasi, tetapi karena absennya pemahaman yang tulus.

Pemahaman terhadap perasaan dan sudut pandang orang lain seringkali membuat kita ikut merasakan apa yang sedang menimpa orang lain. Di sinilah empati memainkan peran penting, bukan sekadar menjadi alat bantu komunikasi, tetapi pondasi utama membangun relasi yang sehat dan bermakna.

Empati adalah kemampuan memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain. Menurut Greater Good Science Center, empati dapat memperkuat ikatan personal karena menciptakan kedekatan emosional yang sehat dan saling pengertian (mengutip greatergood.berkeley.edu). Ketika seseorang merasa dipahami tanpa dihakimi, kepercayaan pun tumbuh.

Dalam hubungan sehari-hari, kemampuan untuk mendengarkan tanpa menghakimi dan mencoba memahami maksud serta perasaan orang lain adalah bentuk empati yang sangat dibutuhkan. Sayangnya, budaya digital yang serbacepat mendorong kita untuk merespons, bukan untuk memahami. Kita terbiasa menjawab, bukan mendengarkan. Di ruang digital seperti media sosial, empati sering tenggelam di tengah banjir opini, debat, bahkan ujaran kebencian.

Empati merupakan pelumas sosial yang memungkinkan individu untuk bekerjasama dan bersinergi. Tanpa empati, perbedaan akan terus menjadi jurang, bukan jembatan. Dalam konteks kerja tim misalnya, ketidakmampuan memahami kondisi rekan kerja sering menjadi penyebab konflik internal yang merusak produktivitas..

Sebuah riset dari Harvard Business Review (2017) menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki budaya empati lebih sukses dalam mempertahankan karyawan dan membangun loyalitas pelanggan. Ini karena empati membangun rasa dihargai dan dimengerti, yang merupakan kebutuhan dasar manusia di tempat kerja maupun kehidupan pribadi.

Empati memang tidak mudah dipraktikkan, terutama dalam masyarakat yang semakin individualistik. Tantangannya datang dari ego pribadi, bias kognitif, hingga trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Tetapi semua tantangan itu bisa diatasi.

Di luar ranah personal, empati juga krusial dalam kehidupan sosial dan politik. Pemimpin yang tidak punya empati akan kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan rakyatnya. Dalam konteks ini, empati tidak hanya menjadi sikap, melainkan kebijakan. Ketika pengambil keputusan mampu merasakan apa yang dialami masyarakat bawah, maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih manusiawi dan tepat sasaran.

Peristiwa pandemi COVID-19 menjadi contoh konkret. Negara yang pemimpinnya menunjukkan empati dan kehadiran nyata saat warganya menderita cenderung lebih dipercaya dan patuh oleh rakyatnya. Ini menunjukkan bahwa empati bukan kelemahan, tapi kekuatan dalam kepemimpinan.

Empati adalah jembatan paling manusiawi yang bisa dibangun antara dua hati. Empati bukan hadir di momen besar saja, melainkan lebih sering muncul dalam hal-hal kecil. Contohnya seperti, mendengarkan teman yang sedang sedih tanpa buru-buru menasihati, mengerti rekan kerja yang sedang lelah tanpa memaksa senyum, atau sekadar bertanya dengan tulus, “Kamu baik-baik saja?” di tengah kesibukan.

Banyak orang berpikir bahwa empati adalah bakat, bukan keterampilan. Padahal, siapapun bisa belajar untuk lebih peduli. Dimulai dari niat untuk memahami, bukan menghakimi. Ketika seseorang berusaha menahan ego demi mendengar cerita orang lain, itulah langkah awal yang berharga menuju hubungan yang lebih sehat dan saling menghargai.

Empati Dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam keluarga, empati mampu menyelesaikan banyak konflik yang tak perlu. Orang tua yang mendengarkan anak tanpa menyela, akan lebih mudah mengerti maksud di balik perilaku si kecil. Sebaliknya, anak yang diajarkan empati sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah menyakiti orang lain. Ini adalah investasi emosional jangka panjang yang kerap diabaikan.

Dalam dunia pendidikan, guru yang mempraktikkan empati akan lebih disukai muridnya. Bukan karena mereka lemah atau membiarkan, tapi karena mereka hadir sebagai manusia yang bisa memahami kondisi psikologis siswanya. Hubungan ini menciptakan rasa aman yang mendukung proses belajar secara menyeluruh.

Di lingkungan sosial, empati memperkecil jarak antarkelompok. Dalam masyarakat yang beragam, sering kali gesekan terjadi bukan karena kebencian yang murni, tapi karena minimnya usaha untuk saling memahami. Empati tidak menyelesaikan perbedaan, tetapi mampu mencairkan kebekuan dan menumbuhkan toleransi.

Empati juga menjadi penguat dalam relasi pertemanan. Teman yang bisa hadir tanpa menggurui adalah teman yang dicari banyak orang. Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi, tetapi seseorang yang mau bersama-sama tenggelam sejenak dalam rasa yang sama. Kehadiran yang empatik bisa menjadi obat paling mujarab di tengah kepenatan batin.

Dalam hubungan asmara, empati adalah kunci agar cinta bertahan lama. Bukan janji manis yang membuat pasangan merasa dicintai, tapi upaya sungguh-sungguh untuk memahami perubahan emosi, luka batin, dan kebutuhan pasangan, meskipun tidak selalu mudah. Banyak hubungan kandas karena dua orang sibuk menuntut dipahami, tetapi enggan memahami.

Menumbuhkan empati di ruang publik juga berarti menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi. Misalnya, memberi tempat duduk pada orang tua di transportasi umum, membantu pengendara lain yang kendaraannya mogok, atau tidak menyerobot antrean di minimarket. Hal-hal kecil itu mungkin sepele, tetapi menunjukkan kesadaran akan perasaan dan hak orang lain.

Ironisnya, media sosial menjadi medan yang menantang bagi empati. Di sana, banyak orang merasa bebas menghakimi tanpa tahu konteks. Empati menuntut kita untuk berhenti sejenak sebelum mengetik komentar seraya bertanya, apakah ini akan menyakiti? Apakah ini membantu? Di era digital ini, empati digital adalah bentuk etika baru yang perlu dikembangkan.

Sayangnya, budaya viral sering kali mengabaikan konteks dan perasaan. Ketika seseorang terpeleset satu kesalahan, media sosial bisa berubah menjadi arena penghukuman massal. Padahal, tidak semua yang tampil buruk di layar ponsel adalah cerminan utuh dari seseorang. Empati di era digital berarti memberi ruang pada manusia untuk bertumbuh, bukan langsung menghakimi mereka secara permanen.

Banyak kasus perundungan daring yang terjadi karena minimnya kesadaran empatik. Komentar-komentar bernada sarkasme, hujatan, hingga penyebaran informasi pribadi terjadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap psikologis korban. Ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya dibutuhkan di dunia nyata, tetapi juga di ruang maya yang tak berwajah.

Empati digital bukan soal membenarkan kesalahan, melainkan menyadari bahwa setiap orang memiliki latar belakang, tekanan, dan perjalanan hidup yang berbeda. Ketika kita bersedia memahami hal itu sebelum berkomentar atau membagikan konten, kita sudah ikut membentuk lingkungan digital yang lebih aman dan manusiawi.

Empati bukan sekadar kemampuan emosional, melainkan fondasi penting dalam membangun hubungan yang positif dan berkelanjutan. Dalam dunia yang kian cepat dan penuh distraksi, empati menegaskan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sering terlupakan. Empati dapat hadir secara utuh, memahami tanpa menghakimi, serta memberi ruang pada perbedaan.

Maka, mari mulai menerapkan empati dalam percakapan sehari-hari, di rumah, tempat kerja, hingga media sosial. Dengarkan sebelum membalas, pahami sebelum menilai. Sebab seperti kata Harper Lee dalam To Kill a Mockingbird, “You never really understand a person until you consider things from his point of view until you climb into his skin and walk around in it.” Kutipan ini menegaskan bahwa empati adalah langkah awal yang akan selalu relevan untuk menciptakan masyarakat yang lebih damai dan hubungan yang lebih bermakna.

Baja Juga

News Feed

Perbaikan Jalan Rantau Hampang–Selerong Mulai Dikerjakan, Warga Sambut dengan Antusias

Sun, 8 Jun 2025 06:23

Kutai Kartanegara – Harapan masyarakat Rantau Hampang dan sekitarnya terhadap perbaikan infrastruktur jalan akhirnya mulai terwujud. Hari ini, proses perbaikan…

Kebakaran Landa Desa Lebak Cilong, 9 Rumah Hangus Terbakar

Sun, 8 Jun 2025 01:52

Lebak Cilong, Muara Wis – Kebakaran hebat melanda RT 5 dan RT 6 Desa Lebak Cilon, Kecamatan Muara Wis, kemarin…

Pemkab Kukar dan Otorita IKN Matangkan Penataan 15 Wilayah Terdampak Delineasi IKN

Sat, 7 Jun 2025 12:55

KUTAI KARTANEGARA — Sebanyak 15 desa dan kelurahan di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) dipastikan masuk dalam delineasi Ibu Kota…

Apakah Jatuh Cinta Beda Agama Selalu Salah?

Sat, 7 Jun 2025 08:39

Penulis: Savitri Shalssabila, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Cinta adalah bahasa universal yang tak perlu diterjemahkan. Ia datang tanpa izin, seringkali…

Peran Cinta Positif dalam Mendorong Semangat Kuliah Mahasiswa

Fri, 6 Jun 2025 13:01

Penulis: Intan Maharani, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Dunia perkuliahan bukan hanya soal menghadapi tumpukan tugas dan ujian yang berat. Banyak…

Strategi Menguatkan Hubungan Pertemanan Lewat Energi Positif

Fri, 6 Jun 2025 12:53

Penulis: Ikke Nurul, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Pertemanan menjadi ruang aman untuk berbagi cerita, merayakan kebahagiaan, dan melewati masa sulit….

Menguatkan Citra Positif Organisasi melalui Pendekatan Public Relations Modern

Fri, 6 Jun 2025 12:05

Penulis: Ikke Nurul, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta   Citra organisasi yang kuat dibangun melalui komunikasi tulus dan hubungan dua arah…

Strategi Membangun Hubungan Positif Bagi Akdemik Siswa

Fri, 6 Jun 2025 10:51

Penulis: Intan Maharani, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Pernahkah Anda menemui siswa yang kehilangan semangat belajar, bukan karena sulitnya materi, melainkan…

Saling Menjadi Rumah Dalam Pertemanan Yang Positif

Fri, 6 Jun 2025 10:44

Penulis: Lulu Khaulia, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Dalam kehidupan yang penuh dinamika ini, setiap orang tentu membutuhkan tempat untuk merasa…

Apakah Berpikir Positif Bisa Menyelesaikan Semua Masalah?

Fri, 6 Jun 2025 10:36

Penulis: Yovita Arnelia Putri Rismanto, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta   Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa sulit: gagal ujian, ditolak…

Berita Terbaru

Teknologi

Pendidikan

Visitor