Penulis: Nabilah Septiani, Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
“Rumah adalah tempat ternyaman,” begitu kata banyak orang. Tapi apa artinya rumah jika komunikasi di dalamnya terasa kaku? Jika anak merasa lebih dimengerti oleh orang lain ketimbang keluarganya sendiri?
Di banyak keluarga saat ini, hubungan antara anak dan orang tua tidak selalu sehangat yang diharapkan. Kesibukan kerja, tekanan akademis, dan pengaruh teknologi membuat komunikasi semakin renggang. Banyak orang tua menanamkan prinsip bahwa “anak harus menurut”, tetapi lupa bahwa membentuk kedisiplinan tidak harus mengorbankan komunikasi dua arah.
Saya percaya, hubungan positif dalam keluarga bukan sekadar soal siapa yang memberi nafkah, tetapi siapa yang benar-benar hadir secara emosional. Hubungan ini harus menjadi ruang aman, bukan tempat penuh tekanan. Karena itulah, mendengar bisa menjadi bentuk perhatian yang paling sederhana, namun paling bermakna.
Pentingnya Hubungan Positif Anak dan Orang Tua
Mengutip Harvard Center on the Developing Child, hubungan yang responsif sejak dini memainkan peran penting dalam perkembangan otak dan kesejahteraan emosional anak. Ketika orang tua mampu merespons kebutuhan emosional anak, mereka membantu anak tumbuh lebih sehat secara psikologis dan sosial.
Dalam wawancara bersama Kompas TV, psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo menyampaikan bahwa kunci hubungan sehat antara orang tua dan anak adalah kemampuan untuk mendengar tanpa menghakimi. “Kadang anak tidak butuh solusi, mereka hanya ingin dimengerti,” ungkapnya.
Sementara itu, Verywell Family menjelaskan bahwa pujian yang tulus dan penguatan positif bisa meningkatkan motivasi serta kepercayaan diri anak dalam menghadapi tantangan sehari-hari.
Tantangan dalam Membangun Hubungan Positif
Di tengah gaya hidup yang semakin cepat dan sibuk, orang tua sering kali merasa bahwa ketaatan anak adalah bentuk keberhasilan pola asuh. Namun, pendekatan yang terlalu menekankan pada ketaatan bisa membuat anak merasa tidak dihargai pendapat dan emosinya. Akibatnya, anak menjadi tertutup atau mencari pelarian emosional di luar rumah.
Anak yang tumbuh di era digital memiliki tantangan tersendiri. Mereka lebih kritis, lebih ekspresif, dan lebih terbuka terhadap berbagai informasi. Oleh karena itu, pendekatan komunikasi yang terbuka dan setara jauh lebih efektif dibanding hanya menuntut ketaatan.
Hubungan positif bukan berarti membiarkan anak berbuat sesuka hati, tetapi menyeimbangkan antara memberi batasan yang jelas dan mendengarkan mereka sebagai individu yang sedang tumbuh.
Dimulai dari Langkah Sederhana
Hubungan positif tidak dibangun dalam semalam. Namun, dengan langkah kecil dan konsisten, ikatan dalam keluarga bisa diperkuat. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:
Dengarkan tanpa menyela
Saat anak bercerita, biarkan mereka menyelesaikan kalimatnya. Dengarkan untuk memahami, bukan untuk membalas.
Berikan pujian yang spesifik dan tulus
Misalnya, “Ibu senang kamu berani jujur,” atau “Ayah bangga kamu mencoba meski belum berhasil.”
Luangkan waktu tanpa gangguan
Makan malam bersama tanpa ponsel atau menonton film berdua bisa jadi momen yang mempererat.
Tanya hal sederhana
Pertanyaan seperti, “Gimana harimu?” bisa membuka percakapan dan memberi sinyal bahwa kamu peduli.
Lebih dari Sekadar Rumah
Meminta anak untuk menurut bukanlah kesalahan. Tapi, ketika perintah berdiri sendiri tanpa ruang untuk berdialog, hubungan keluarga justru menjadi kaku. Anak yang merasa didengar akan lebih mudah menerima arahan, karena ia tahu bahwa pendapat dan perasaannya dihargai.
Saya yakin, semua orang tua menginginkan anak yang patuh, sopan, dan bertanggung jawab. Tapi semua itu tidak bisa dibentuk hanya lewat perintah. Harus dibutuhkan kedekatan emosional, kepercayaan, dan komunikasi yang terbuka.
Mari kita ubah sedikit perspektif. Sebelum meminta anak menurut, tanyakan dulu: sudahkah kita benar-benar mendengar mereka?