Penulis: Diky Fahillah, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Di era serba cepat seperti sekarang, manusia makin terhubung oleh teknologi namun sering merasa semakin terasing dalam relasi nyata. Ironisnya, di tengah maraknya “follow” dan “add friend”, justru hubungan yang benar-benar bermakna makin sulit ditemukan. Padahal, penelitian psikologi modern menunjukkan bahwa hubungan positif baik dengan keluarga, teman, pasangan, maupun rekan kerja bukan hanya menyenangkan secara emosional, tapi juga berdampak besar pada kesehatan fisik dan mental.
Mengutip Harvard Study of Adult Development, sebuah studi longitudinal yang berlangsung lebih dari 80 tahun, ditemukan bahwa hubungan sosial yang baik adalah indikator paling kuat dari kebahagiaan dan umur panjang. Bukan kekayaan, bukan ketenaran, bukan karier cemerlang. Menurut direktur risetnya, Robert Waldinger, “Orang yang lebih terhubung secara sosial dengan keluarga, teman, dan komunitasnya, cenderung lebih bahagia, lebih sehat, dan hidup lebih lama dibandingkan mereka yang kurang terhubung.”
Mengikis Stres, Meningkatkan Resiliensi
Hubungan positif bertindak sebagai penyangga stres dalam kehidupan sehari-hari. Melansir American Psychological Association (APA), individu yang memiliki dukungan sosial yang kuat akan lebih mampu menghadapi tekanan dan pulih dari kondisi sulit. Saat seseorang merasa didengar dan dipahami, sistem saraf menjadi lebih stabil, hormon stres seperti kortisol menurun, dan bahkan sistem imun tubuh bekerja lebih optimal.
Dalam konteks pekerjaan atau pendidikan, misalnya, rekan yang saling menghargai dan berempati menciptakan atmosfer kolaboratif yang menurunkan konflik dan meningkatkan produktivitas. Lingkungan kerja yang sehat bukan hanya soal target dan efisiensi, tetapi juga hubungan antarmanusia di dalamnya.
Tantangan di Tengah Era Individualistik
Meski manfaat hubungan positif begitu nyata, nyatanya tantangan untuk membangunnya juga besar. Kita hidup dalam era individualistik, di mana pencapaian personal sering dianggap lebih penting daripada kebersamaan. Budaya hustle yang diagung-agungkan justru sering mengorbankan waktu untuk membina relasi.
Generasi muda, khususnya Gen Z, tumbuh dalam lanskap digital yang memudahkan komunikasi tapi sering menggantikan kedalaman dengan kecepatan. Banyak yang merasa kesepian meski aktif di media sosial. Menurut survei yang dilakukan oleh Cigna Global pada 2021, 61% responden usia 18–25 tahun di seluruh dunia mengaku merasa kesepian secara rutin, tertinggi di antara semua kelompok usia.
Kita Butuh Lebih dari Sekadar Interaksi
Hubungan positif tidak lahir dari sekadar mengenal atau berinteraksi, tetapi dari kualitas perhatian dan keterlibatan emosional yang diberikan. Artinya, penting untuk benar-benar hadir dalam percakapan, mendengarkan tanpa menyela, serta menunjukkan empati dan penghargaan atas keberadaan orang lain.
Upaya membangun koneksi yang tulus memang tidak instan. Namun, setiap waktu dan energi yang kita investasikan akan kembali dalam bentuk yang lebih besar: makna hidup, kebahagiaan, dan ketahanan menghadapi tantangan.
Jangan Remehkan Pelukan dan Percakapan
Kadang, kita lupa bahwa manusia bukan sekadar makhluk rasional, tapi juga makhluk relasional. Hubungan positif bukan sekadar bonus hidup, melainkan kebutuhan dasar yang membentuk cara kita melihat dunia dan menjalani hari. Di tengah dunia yang terus berubah, koneksi yang hangat dan bermakna justru menjadi jangkar agar kita tetap waras dan utuh sebagai manusia.
Maka, jangan remehkan kekuatan sebuah pelukan, tawa bersama, atau percakapan tulus yang datang dari hati. Itu semua bukan basa-basi. Itu adalah terapi.