Penulis: Raden Muhammad Fajar Visandy, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Ketika dunia terasa terlalu bising dengan kabar buruk, kegagalan datang silih berganti, dan tekanan hidup terasa menyesakkan berpikir positif sering kali terdengar seperti lelucon murahan. Tapi justru di masa seperti inilah kita paling membutuhkan kemampuan untuk bersikap optimis.
Berpikir positif bukan sekadar senyum palsu atau motivasi kosong. Ini adalah bentuk kesadaran, usaha sadar untuk tidak tenggelam dalam arus pikiran negatif yang melemahkan diri. Mengutip Healthline (2023), berpikir positif berkaitan erat dengan kesehatan mental yang lebih baik, penurunan stres, bahkan peningkatan daya tahan tubuh.
Optimisme Adalah Keterampilan, Bukan Bakat
Sayangnya, banyak orang menganggap berpikir positif sebagai sifat bawaan. Padahal, menurut Carol S. Dweck dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success (2006), pola pikir positif bisa dibentuk dan dilatih melalui kebiasaan sehari-hari. Artinya, siapa pun bisa belajar optimis, meski selama ini terbiasa melihat sisi gelap kehidupan.
Mulailah dari hal-hal kecil: berhenti membandingkan diri secara berlebihan di media sosial, biasakan mencatat tiga hal baik setiap hari, atau pilih bacaan yang menginspirasi dibanding berita negatif yang memicu kecemasan. Seperti kata pepatah, “Kita adalah apa yang kita pikirkan setiap hari.”
Media Sosial: Sumber Inspirasi atau Pemicu Cemas?
Di era digital, tantangan terbesar berpikir positif justru datang dari layar ponsel kita sendiri. Menurut laporan We Are Social (2024), rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial. Jika yang dilihat setiap hari hanya pencapaian orang lain, standar hidup yang tak realistis, dan komentar negatif, tak heran jika kita mudah merasa gagal atau iri.
Kita tak bisa mengontrol isi media sosial, tapi kita bisa memilih siapa yang kita ikuti, apa yang kita baca, dan kapan harus jeda. Berpikir positif juga berarti berani menjaga batas kesehatan mental kita dari dunia digital yang tak kenal lelah.
Berpikir Positif Tak Sama dengan Mengabaikan Realita
Perlu digarisbawahi, berpikir positif bukan berarti menutupi fakta atau menolak kenyataan. Ini bukan tentang menganggap semua baik-baik saja ketika kenyataannya sulit. Justru, sikap positif adalah kemampuan untuk menerima kenyataan pahit tanpa kehilangan harapan untuk memperbaikinya.
Mengutip Viktor Frankl, penyintas kamp konsentrasi Nazi sekaligus psikiater ternama, “Antara stimulus dan respons, ada ruang. Di ruang itu terdapat kekuatan kita untuk memilih respons kita. Dan dalam respons itu terdapat pertumbuhan dan kebebasan kita.” (Man’s Search for Meaning, 1946)
Mengapa Kita Perlu Berpikir Positif?
Ada banyak alasan logis untuk belajar berpikir positif. Selain meningkatkan kualitas hidup, berpikir positif juga meningkatkan hubungan sosial, produktivitas, dan daya tahan terhadap tekanan. Bahkan menurut riset Mayo Clinic (2021), orang yang berpikir positif cenderung hidup lebih lama dan jarang mengalami depresi berat.
Di sekolah, berpikir positif membantu siswa menghadapi ujian tanpa panik. Di dunia kerja, itu menjadi kunci tetap semangat meski target belum tercapai. Dan dalam kehidupan sosial, berpikir positif membantu kita lebih pemaaf, lebih sabar, dan lebih bahagia.
Positif Itu Pilihan, Bukan Sekadar Perasaan
Berpikir positif tidak membuat masalah kita menghilang. Tapi ia membantu kita melihat celah untuk bangkit, bahkan dari kondisi yang terlihat mustahil. Ini bukan sekadar bentuk motivasi, tapi strategi hidup yang realistis dan terbukti berdampak.
Karena pada akhirnya, dalam hidup yang penuh ketidakpastian ini, kita hanya bisa mengendalikan satu hal: bagaimana kita memilih untuk merespons.