Penulis: Khaylila Safitri, Mahasiswa Politeknik Negeri Jaakarta
Kerap kali kita melupakan satu hal sederhana yang dapat mempererat relasi antarindividu, apresiasi. Padahal, sepotong pujian yang tulus, ucapan terima kasih yang hangat, atau sekadar pengakuan atas usaha seseorang bisa menjadi bahan bakar penting untuk menjaga keharmonisan hubungan. Baik dalam keluarga, pertemanan, organisasi, maupun lingkungan kerja.
Apresiasi bukan sekadar basa-basi. Ia adalah bentuk pengakuan yang membangkitkan semangat, memperkuat rasa percaya diri, dan menciptakan suasana yang suportif. Menurut Psychology Today, memberikan apresiasi secara rutin dapat meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental penerimanya, bahkan juga bagi si pemberi (“The Power of Appreciation”). Ini bukan hanya soal etika sosial, tapi soal kesehatan emosional bersama.
Selama ini kita sering menyempitkan apresiasi pada pujian verbal seperti “kerja bagus!” atau “kamu hebat!” Padahal, bentuknya bisa sangat beragam, memberikan ruang untuk berkembang, mendengarkan tanpa menghakimi, atau bahkan menunjukkan sikap menghargai keputusan seseorang. Semua itu adalah bentuk apresiasi yang sering luput dari perhatian, padahal dampaknya begitu besar.
Dalam sebuah penelitian yang dilansir Harvard Business Review (2019), ditemukan bahwa karyawan yang merasa dihargai lebih cenderung bertahan di perusahaan, merasa puas, dan menunjukkan performa kerja lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa apresiasi bukan hanya kebutuhan emosional, tetapi juga aset strategis dalam dunia profesional.
Ironisnya, banyak orang merasa kesulitan untuk memberi apresiasi meskipun sadar akan pentingnya. Salah satu penyebabnya adalah asumsi bahwa menghargai orang lain membuat diri kita terlihat lebih rendah. Ada pula yang merasa canggung atau menganggap bahwa tindakan baik seharusnya menjadi kewajiban, bukan sesuatu yang layak diapresiasi. Pandangan seperti ini justru menjauhkan kita dari hubungan yang sehat.
Lebih jauh lagi, budaya kompetitif juga kerap membuat kita enggan menunjukkan penghargaan terhadap keberhasilan orang lain. Mengutip psikolog Dr. Brené Brown, “Kita hidup dalam budaya kelangkaan, tidak pernah cukup. Tidak cukup waktu, tidak cukup uang, tidak cukup pujian. Ini membuat kita lebih banyak mengkritik ketimbang mengapresiasi.”
Namun, penting dicatat bahwa apresiasi bukan berarti pujian kosong atau basa-basi. Banyak orang merasa tidak nyaman menerima pujian karena terbiasa dengan kalimat yang terkesan generik dan tidak tulus. Karena itu, apresiasi yang efektif harus tulus, jujur, dan relevan dengan konteks. Mengutip The Gottman Institute, pasangan yang memberikan validasi dan penghargaan secara konsisten memiliki tingkat kepuasan hubungan yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak melakukannya (Gottman). Apresiasi yang autentik menciptakan koneksi emosional yang lebih kuat.
Dalam konteks keluarga, apresiasi sering kali menjadi kunci keharmonisan yang terabaikan. Betapa sering orang tua lupa mengucapkan terima kasih kepada anak-anak yang membantu di rumah? Atau sebaliknya, anak-anak lupa menghargai perjuangan orang tuanya yang bekerja keras setiap hari? Padahal, penghargaan sederhana bisa menjadi sumber energi emosional yang membuat anggota keluarga merasa dilihat dan dicintai.
Apresiasi juga berperan besar dalam memperkuat organisasi sosial dan komunitas. Kita sering melihat relawan yang bekerja di balik layar tanpa pernah disebut namanya. Padahal, menyebut kontribusi mereka dalam forum atau memberikan ucapan terima kasih secara terbuka bisa meningkatkan loyalitas dan memperkuat solidaritas tim. Rasa dihargai membuat mereka merasa penting dan terdorong untuk terus berkontribusi.
Dalam praktiknya, kita bisa mulai melatih diri untuk lebih peka terhadap kontribusi orang lain. Sering kali kita terlalu fokus pada apa yang belum dilakukan orang, sehingga lupa melihat apa yang sudah mereka berikan. Perspektif ini perlu diubah agar hubungan yang kita bangun tidak hanya menuntut, tetapi juga mengapresiasi. Memberikan pujian tidak akan mengurangi nilai diri kita; justru sebaliknya, hal itu memperlihatkan kedewasaan emosional.
Menariknya, apresiasi juga berlaku untuk diri sendiri. Banyak orang merasa bersalah saat memberi waktu untuk istirahat atau memuji diri karena dianggap sombong. Padahal, menghargai diri sendiri adalah fondasi penting untuk bisa menghargai orang lain.
Sikap menghargai juga bisa menjadi senjata melawan budaya toksik, baik di kantor maupun lingkungan sosial. Ketika kita membiasakan diri memberi apresiasi, kita secara tidak langsung menekan perilaku kompetitif berlebihan, gosip, atau saling menjatuhkan. Apresiasi menciptakan ruang aman di mana setiap orang merasa diakui dan dihormati.
Bagi generasi muda yang hidup dalam era media sosial, apresiasi bisa menjadi alat yang membangun atau menghancurkan. Banyak yang mencari validasi melalui likes dan komentar. Namun, apresiasi yang sehat seharusnya tidak bersifat transaksional. Alih-alih hanya mengejar pengakuan digital, kita perlu membangun budaya penghargaan yang lebih bermakna, seperti dukungan dalam proyek komunitas atau kolaborasi kreatif.
Budaya apresiasi bukan hal yang muncul instan. Ia perlu dibangun melalui keteladanan. Seorang pemimpin yang terbiasa mengapresiasi bawahannya akan menularkan nilai tersebut ke seluruh tim. Guru yang terbiasa menghargai murid, akan menumbuhkan siswa yang juga menghargai sesamanya. Ini adalah siklus positif yang perlu terus diperkuat.
Tidak ada kata terlambat untuk mulai membiasakan diri mengapresiasi. Sering kali kita menunda mengatakan “terima kasih” atau “aku bangga padamu” karena merasa waktunya belum tepat. Padahal, setiap hari adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa kita menghargai kehadiran dan kontribusi orang lain. Apresiasi tidak memerlukan momen besar, ia justru paling kuat ketika diberikan di tengah kesibukan sehari-hari.
Dalam hubungan pertemanan, apresiasi kadang kalah oleh candaan atau sindiran. Kita lupa bahwa teman pun butuh diyakini bahwa keberadaannya berarti. Sebuah ucapan “terima kasih sudah mendengarkan” atau “aku senang bisa punya kamu sebagai teman” mungkin terdengar sepele, tapi itu bisa menguatkan ikatan emosional dan memperpanjang umur pertemanan.
Bahkan pada interaksi singkat dengan orang asing, apresiasi bisa meninggalkan kesan mendalam. Memberi pujian tulus kepada petugas kebersihan, kasir, atau pengemudi ojek bisa jadi hal langka dalam keseharian mereka. Gestur kecil seperti itu bisa menular dan memicu semangat untuk berbuat baik pada orang lain.
Apresiasi juga berkaitan erat dengan empati. Saat kita menghargai orang lain, kita sedang melatih diri untuk keluar dari ego dan melihat dunia dari perspektif yang lebih luas. Kita belajar menyadari bahwa setiap orang memiliki perjuangan dan kontribusinya masing-masing, meskipun tidak selalu terlihat.
Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, apresiasi menjadi bentuk perlambatan yang manusiawi. Ia membuat kita berhenti sejenak, memandang sekitar, dan menyadari bahwa tidak semua hal perlu dilihat dari sisi produktivitas atau pencapaian. Terkadang, keberadaan seseorang saja sudah layak dihargai.
Melatih diri untuk mengapresiasi juga membantu kita menjadi lebih optimis. Saat kita terbiasa menemukan hal baik dalam diri dan orang lain, kita membentuk pola pikir yang lebih positif. Daripada fokus pada kekurangan, kita belajar merayakan kekuatan yang ada, sekecil apa pun itu.
Penting juga untuk memahami bahwa apresiasi bukan berarti mengabaikan kritik. Justru, kritik yang dibarengi dengan penghargaan jauh lebih mudah diterima. “Aku tahu kamu sudah berusaha keras, tapi bagian ini bisa kita perbaiki bersama” adalah contoh komunikasi yang membangun, bukan menjatuhkan.
Membangun budaya apresiasi membutuhkan konsistensi. Tidak cukup hanya sesekali memuji, lalu kembali bersikap acuh. Budaya terbentuk dari kebiasaan yang terus dilakukan, bukan dari gestur sesaat. Semakin sering kita memberi apresiasi, semakin kuat nilainya di mata orang lain.
Dalam keluarga besar, apresiasi bisa menjadi jembatan antar generasi. Anak-anak belajar menghargai orang tua, dan sebaliknya, orang tua belajar melihat keunikan anak-anak masa kini tanpa menghakimi. Komunikasi yang didasarkan pada penghargaan akan menciptakan suasana yang lebih harmonis dan terbuka.
Apresiasi juga menjadi kunci dalam menghadapi konflik. Saat emosi memuncak, mengingat hal-hal positif yang pernah dilakukan orang lain dapat meredakan amarah. Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan masalah tanpa merusak hubungan. Menghargai kontribusi lawan bicara, meski sedang tidak sepaham, adalah tanda kedewasaan emosional.
Dalam proses kerja tim, apresiasi bisa menjadi bahan bakar. Ketika satu anggota tim dihargai, ia akan lebih terdorong untuk memberikan kontribusi terbaik. Apresiasi menciptakan rasa saling percaya dan memperkuat komitmen terhadap tujuan bersama. Tim yang saling menghargai cenderung lebih solid dan adaptif terhadap tantangan.
Tidak semua apresiasi harus disampaikan secara lisan. Tindakan nyata seperti membantu tanpa diminta, menyisihkan waktu untuk hadir, atau memberikan dukungan saat dibutuhkan juga merupakan bentuk penghargaan yang kuat. Terkadang, tindakan berbicara lebih lantang daripada kata-kata.
Bagi mereka yang sedang menjalani masa sulit, apresiasi bisa menjadi pengingat bahwa mereka tidak sendirian. Kalimat seperti “aku lihat kamu sedang berjuang, dan itu luar biasa” mungkin menjadi satu-satunya kekuatan yang mereka miliki hari itu. Kita tidak pernah tahu seberapa besar dampak dari kata-kata kita terhadap orang lain.
Akhirnya, apresiasi adalah bentuk cinta yang paling sederhana sekaligus paling dalam. Ia tidak membutuhkan biaya, hanya kepekaan dan niat. Dalam dunia yang sering kali keras dan sibuk, satu ungkapan penghargaan bisa menjadi penyejuk yang menguatkan. Mari jadikan apresiasi sebagai gaya hidup, bukan sekadar kebiasaan sesaat.