Penulis: Intan Maharani, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Pernahkah Anda menemui siswa yang kehilangan semangat belajar, bukan karena sulitnya materi, melainkan karena merasa tidak nyaman dengan gurunya? Sayangnya, kondisi seperti ini kerap dianggap sepele. Padahal, hubungan antara guru dan murid memainkan peran penting dalam membentuk suasana belajar yang sehat dan menyenangkan.
Penelitian oleh Hamre dan Pianta (2001) menunjukkan bahwa kualitas relasi antara guru dan siswa berpengaruh besar terhadap motivasi dan pencapaian akademik, bahkan hingga jenjang sekolah menengah. Hubungan yang positif tidak hanya mendukung proses belajar, tetapi juga memberikan rasa aman, dihargai, dan mendorong siswa berkembang secara utuh. Ketika ikatan ini kuat, belajar bukan lagi beban, melainkan pengalaman yang bermakna.
Peran Hubungan Positif dalam Konteks Akademik
Pentingnya relasi positif ini juga disampaikan oleh Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, yang menyatakan bahwa suasana emosional yang sehat antara guru dan siswa menjadi dasar tumbuhnya karakter dan kecintaan belajar dalam diri peserta didik.
Dalam diskusi publik tentang pendidikan inklusif (2023), ia menekankan bahwa “Ketika siswa merasa dihargai secara personal, mereka lebih siap menerima tantangan akademik dengan pikiran terbuka.”
Penelitian dari Allen (2021) juga menekankan bahwa keterikatan emosional dengan guru sangat mempengaruhi partisipasi dan ketekunan siswa dalam belajar. Dengan kata lain, keberhasilan akademik tidak hanya bergantung pada kurikulum, tetapi juga pada kualitas
hubungan sosial di kelas.
Ketika guru menciptakan rasa percaya dan aman, siswa akan merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam proses akademiknya. Ini akan membangun sikap tangguh dan keinginan untuk terus belajar tanpa paksaan dari luar.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Guru dan Siswa
Menurut KPAI (2024), kualitas hubungan guru dan siswa sangat dipengaruhi oleh sinergi antara sekolah dan keluarga. Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebutkan bahwa guru bukan hanya berinteraksi dengan siswa, tetapi juga dengan lingkungan sosial yang membentuk siswa itu sendiri. Jika komunikasi dengan orang tua berjalan efektif, maka kesalahpahaman dalam pendidikan bisa diminimalkan.
Faktor-faktor ini tidak bisa dilihat secara terpisah. Justru, yang sering dilupakan adalah
interaksi antar faktor itu sendiri. Misalnya, guru yang memiliki empati tinggi namun bekerja di lingkungan sekolah yang penuh tekanan administratif akan tetap kesulitan menjalin hubungan yang sehat dengan siswanya. Oleh karena itu, upaya membangun hubungan positif harus dimulai dari pembenahan sistem, bukan sekadar meminta guru untuk lebih sabar.
Strategi Membangun Hubungan Positif Guru-Siswa
Ada banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan siswanya. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan secara bertahap dan konsisten:
1. Gunakan sapaan personal. Menyapa siswa dengan namanya di awal pelajaran mungkin terdengar sepele, tapi ini menunjukkan bahwa guru mengenal mereka secara personal.
2. Tunjukkan empati, bukan reaksi spontan. Saat siswa membuat kesalahan, hindari reaksi keras. Sebaliknya, tunjukkan empati dan ajukan pertanyaan seperti, “Ada yang bisa saya bantu?” atau “Apa yang sedang kamu rasakan hari ini?” Ini membuat siswa merasa
dimengerti.
3. Apresiasi proses, bukan hanya hasil. Ketika siswa mencoba dan berprogres, berikan pujian atas usahanya. Guru bisa mengatakan, “Kamu sudah jauh lebih fokus hari ini” atau “Terima kasih sudah mencoba menjelaskan dengan versi kamu sendiri.” Umpan balik seperti ini menguatkan.
4. Libatkan siswa dalam pengambilan keputusan kecil. Misalnya memilih tema proyek, bentuk tugas, atau cara presentasi. Keterlibatan ini membuat siswa merasa diakui, sekaligus melatih tanggung jawab mereka.
5. Ciptakan forum dialog rutin. Tidak semua siswa berani bicara di depan kelas. Sediakan waktu khusus, seminggu sekali misalnya, untuk sesi curhat ringan atau refleksi pembelajaran.
6. Jadilah teladan dalam bersikap. Sikap guru akan ditiru oleh siswa. Jika guru ramah, adil, dan terbuka terhadap masukan, maka siswa pun akan belajar untuk bersikap sama.
Membangun relasi yang hangat antara guru dan siswa bukan lagi sekadar anjuran, melainkan kebutuhan mendesak dalam dunia pendidikan saat ini. Ketika guru mampu menciptakan ruang yang aman dan penuh empati, siswa akan lebih mudah berkembang baik secara akademik maupun emosional. Dari sinilah terbentuk generasi pembelajar yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berani, peduli, dan tahan menghadapi tantangan zaman.