Penulis: Intan Nur Anwari, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
“Nilai saya masih belum sesuai ekspektasi…”
Kalimat itu sering terdengar di akhir semester. Seseorang memeluk laptopnya sambil menatap layar dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,14. Ia terdiam lama, bahkan menolak ajakan makan siang. Di pojok grup WhatsApp, beberapa mahasiswa lain membagikan hasil Kartu Hasil Studi (KHS) mereka, ada yang lega, ada yang kecewa. Tak jarang muncul pertanyaan, “Apakah IPK segitu masih layak diperjuangkan?”
Pertanyaan itu wajar. Di tengah sistem pendidikan yang masih menjadikan IPK sebagai tolok ukur prestasi, perasaan gagal sering datang menghantui mahasiswa yang nilainya tak sesuai harapan. Apalagi jika lingkungan sekitar mengagung-agungkan “tiga koma lima ke atas” sebagai standar sukses.
Namun, mari tarik napas dan renungkan, apakah IPK benar-benar mencerminkan semua kemampuan kita? Lalu, bagaimana jika ternyata IPK yang rendah justru membuka jalan untuk tumbuh lebih kuat, lebih reflektif, dan lebih otentik dalam menata masa depan?
Apa Itu IPK?
IPK adalah angka yang menggambarkan pencapaian akademik mahasiswa secara keseluruhan, mulai dari semester pertama hingga semester terakhir. Sementara itu, Indeks Prestasi Semester (IPS) hanya mencerminkan prestasi mahasiswa pada satu semester tertentu. Nilai IPS yang diperoleh pada setiap semester dapat mempengaruhi IPK secara keseluruhan.
Mengapa IPK Bisa Rendah?
Ada beberapa faktor yang sering menjadi penyebab IPK rendah.
- Adaptasi di awal masa kuliah
- Tekanan mental yang datang dari berbagai sisi
- Gaya mengajar dosen atau metode pembelajaran yang mempengaruhi proses penerimaan mahasiswa
- IPS sebelumnya yang rendah
Contohnya, seorang mahasiswi semester empat dari jurusan Teknik Elektro, mengaku pernah mendapat IPK 3,14, karena merasa burnout dan tidak mengerti materi yang diajarkan. Namun, setelah meminta bimbingan, mengikuti forum diskusi online, dan mulai menyusun jadwal belajar, IPK-nya perlahan naik menjadi 3,3 di semester berikutnya.
Dampak IPK Rendah
Dampaknya tentu terasa. Beberapa beasiswa mensyaratkan IPK minimal tertentu. Begitu pula dengan peluang magang atau kerja part-time yang terkadang menjadikan IPK sebagai screening awal. Bahkan, tak jarang mahasiswa jadi kehilangan rasa percaya diri atau merasa tidak pantas bersaing di dunia kampus.
Namun, dampak yang paling berat justru sering berasal dari dalam diri: rasa malu, merasa tertinggal, bahkan muncul keinginan untuk menyerah.
Dikutip dari Kompas.com, Najwa Shihab berkata, “Kalau masih mahasiswa ya jangan cuma ngurusin IPK gitu. Karena bukan satu-satunya itu yang penting.”
Inilah mengapa penting untuk membedakan antara “nilai” dan “nilai diri”. IPK rendah bukan berarti kamu rendah. Nilai akademis bukan satu-satunya tolak ukur kompetensi dan masa depanmu.
Cara Bangkit dari IPK yang Tak Sesuai Harapan
- Refleksikan diri, apa yang diharapkan dari pendidikan ini.
- Ubah strategi belajar, pahami yang sesuai dengan diri sendiri.
- Bangun relasi yang mendukung.
- Perkuat portofolio nonakademik.
- Maafkan diri sendiri dan evaluasi.
Dilansir dari umy.ac.id, Ketua Bidang Pembinaan Umum, Kesejahteraan Sosial dan Resiliensi Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Agus Taufiqurrahman berkata,
“Kalau orang hanya mengandalkan IPK, itu hanya nomor kesekian. Yang dibutuhkan di tempat kerja itu ternyata karakter moral, karakter anda berkomunikasi dengan baik, bisa berinteraksi dengan teman sejawat, bisa bekerja sama, dipercaya, dan jujur.”
IPK rendah memang bukan kondisi yang ideal. Namun, bukan pula akhir dari segalanya. Dunia tak pernah bertanya berapa IPK-mu, tapi apa kontribusimu. Daripada terus menyesali angka, lebih baik gunakan energi itu untuk membentuk versi terbaik dari dirimu. Sebab dalam hidup, bukan siapa yang tercepat yang menang, tapi siapa yang tak berhenti berjalan.