Penulis: Maria Elisabeth Sitanggang, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) saat ini melaju dengan sangat cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana teknologi dahulu hanya ada dalam film fiksi kini hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari: dari asisten virtual yang membantu pekerjaan kantor, hingga sistem AI yang dapat menulis, menggambar, atau bahkan membuat keputusan bisnis.
Fenomena ini memunculkan beragam reaksi. Sebagian dari kita merasa antusias dengan efisiensi yang ditawarkan, tetapi sebagian lainnya hanya merasa cemas, apakah AI akan menggantikan manusia? Apakah kreativitas, tenaga kerja manual, atau bahkan strategi pemikiran akan tergeser oleh mesin?
Rasa cemas ini wajar, terlebih ketika perubahan datang begitu cepat dan tidak memberi banyak waktu untuk bersiap. Namun, daripada terjebak dalam kekhawatiran, kita bisa mulai membangun cara berpikir yang lebih positif: melihat perubahan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang pembelajaran dan pertumbuhan.
Berpikir positif di tengah kemajuan teknologi bukanlah bentuk kepolosan. Justru, seperti yang dikatakan oleh Sundar Pichai, CEO Google:
“Masa depan AI bukan tentang menggantikan manusia, tapi tentang memperkuat kemampuan manusia.”
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa AI diciptakan untuk membantu, bukan untuk menghilangkan peran manusia. Dengan pola pikir ini, kita bisa menghadapinya dengan tenang, sadar, dan penuh daya juang.
AI dan Rasa Takut yang Manusiawi
Melihat AI menghasilkan teks atau gambar dalam waktu singkat seringkali menimbulkan rasa cemas. Kita merasa tertinggal, bahkan tidak relevan lagi. Padahal, perasaan itu hadir karena kita membandingkan diri dengan sesuatu yang sebenarnya dirancang untuk membantu, bukan menggantikan.
Seperti halnya kalkulator tidak menghilangkan kemampuan berhitung, AI tidak akan menghilangkan manusia dari keinginannya. Ia hanya membuat proses lebih efisien.
Menumbuhkan Mentalitas Tumbuh (Growth Mindset)
Melansir dari Harvard Business Review (2023), kemampuan belajar ulang (relearning) dan keterbukaan pada teknologi menjadi soft skill paling dicari di era AI. Kita tidak harus menjadi programmer untuk bisa relevan, yang dibutuhkan hanyalah keinginan untuk belajar dan beradaptasi.
Sikap ini akan membentuk mentalitas “tumbuh” yang menjadikan AI bukan pesaing, melainkan pelengkap potensi diri.
AI sebagai Teman Kerja Sama
AI hebat dalam mengolah data, namun masih kurang dalam hal empati, moral, dan kreativitas. Jika kita berpikir positif, kita bisa menggunakan AI untuk membantu kemampuan-kemampuan itu. Misalnya, AI bisa membantu membuat ide tulisan, tapi kita tetap menambahkan perasaan dan nilai budaya di dalamnya.
Solusi Nyata untuk Tetap Relevan
Berikut beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
- Pelajari AI dasar sesuai bidang kita (misalnya ChatGPT,Gemini, Perplexity)
- Gunakan AI sebagai alat bantu kerja, bukan sebagai pengganti usaha
- Fokus pada keterampilan manusiawi: komunikasi, kolaborasi, dan kepemimpinan
- Ikuti pelatihan digital, banyak yang gratis dan terbuka
Dengan begitu, kita membangun peran aktif di era baru, bukan sekadar menjadi penonton.
Tidak ada teknologi yang lahir tanpa kegelisahan. Sejarah mencatat, mesin cetak dulu ditentang karena dianggap akan menghapus nilai tulisan tangan. Kini, kita tahu bahwa itu justru memperluas akses pengetahuan.
Hal yang sama terjadi dengan AI. Ya, ini adalah perubahan besar. Tapi kita punya pilihan: diam dalam ketakutan, atau bergerak dengan keberanian. Berpikir positif memberi kita kejelasan arah, bahwa teknologi tidak mencabut nilai-nilai manusia, melainkan menantangnya untuk terus tumbuh.
Di tengah dunia yang semakin otomatis, manusia tetap terganti bukan karena kecepatannya, tetapi karena kesadarannya. Dan dari kesadaran itulah, kita bisa terus mencipta, memberi makna, dan berkontribusi secara nyata.