Penulis: Raden Muhammad Fajar Visandy, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Hari-hari ini, berpikir positif terdengar seperti saran klise. Ketika hidup menekan dari segala arah biaya pendidikan yang tinggi, ketidakpastian karier, krisis iklim, hingga hubungan sosial yang renggang apakah masih relevan berbicara soal optimisme?
Namun justru di tengah derasnya pesimisme kolektif, berpikir positif bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Ini bukan tentang mengabaikan kenyataan, melainkan cara untuk menavigasi hidup dengan kepala dingin dan hati kuat.
Antara Toxic Positivity dan Optimisme Sehat
Pertama-tama, mari luruskan pengertian. Berpikir positif bukan berarti menolak realitas atau menutupi emosi negatif. Terlalu sering, nasihat “jangan sedih” atau “tetap semangat” malah terasa menyakitkan karena tidak menghargai emosi yang valid.
Psikolog Whitney Goodman menyebut fenomena ini sebagai toxic positivity, yaitu dorongan untuk selalu positif dalam segala situasi, yang justru bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Mengutip dari The Psychology Group (2022), toxic positivity mendorong seseorang untuk menekan emosi negatif alih-alih memprosesnya secara sehat.
Sikap positif yang sehat justru mengakui emosi sulit sebagai bagian dari hidup, sambil tetap menjaga harapan bahwa keadaan bisa berubah.
Mengapa Kita Perlu Belajar Berpikir Positif?
Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health (2022), individu yang memiliki pandangan hidup positif cenderung hidup lebih lama dan lebih sehat secara keseluruhan. Optimisme terbukti menurunkan risiko penyakit jantung, memperkuat sistem imun, dan meningkatkan kemampuan kognitif dalam mengambil keputusan di bawah tekanan.
Dalam konteks psikologi, berpikir positif membantu membangun resilience yaitu daya lenting mental yang memungkinkan seseorang bangkit dari kegagalan atau trauma. Resiliensi inilah yang membuat kita tetap bisa berjalan, bahkan saat dunia terasa runtuh.
Masyarakat Digital: Ruang Tumbuh atau Kubangan Negatif?
Sayangnya, tantangan terbesar dalam menjaga pola pikir positif justru datang dari era digital. Media sosial, meski membawa koneksi, sering menjadi ladang perbandingan yang merusak rasa percaya diri. Mengutip Digital 2024: Indonesia oleh We Are Social, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari berselancar di media sosial. Waktu sebanyak itu cukup untuk membentuk cara pikir dan emosi sehari-hari.
Berpikir positif di era digital bukan hanya soal menjaga sikap, tetapi juga menjaga diet informasi. Kita harus memilih siapa yang kita ikuti, apa yang kita baca, dan kapan harus rehat dari layar. Seperti dikatakan oleh media edukatif Verywell Mind (2023), digital detox terbukti membantu menurunkan gejala stres dan kecemasan.
Berpikir Positif Adalah Latihan, Bukan Keberuntungan
Satu kesalahpahaman umum adalah mengira bahwa optimisme adalah sifat bawaan. Padahal, seperti otot, ia bisa dilatih. Dalam buku Atomic Habits (2018), James Clear menjelaskan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan konsisten.
Beberapa kebiasaan yang bisa melatih pikiran positif antara lain:
- Menulis jurnal rasa syukur tiap malam
- Mencatat pelajaran dari setiap kegagalan
- Mengganti kalimat “aku gagal” menjadi “aku sedang belajar”
- Melibatkan diri dalam kegiatan sosial yang bermakna
Sikap positif bukanlah hasil dari keberuntungan, melainkan buah dari ketekunan berpikir ulang terhadap cara kita melihat dunia.
Spiritualitas sebagai Sumber Kekuatan Batin
Di luar pendekatan ilmiah, berpikir positif juga bersumber dari nilai spiritual. Dalam Islam, sikap husnuzan berprasangka baik kepada Tuhan dan sesama adalah bentuk kekuatan mental yang membuat seseorang tidak mudah goyah. Dalam tradisi Kristen, pengharapan menjadi fondasi dalam menghadapi ujian hidup. Dalam ajaran Buddha, pikiran yang jernih dan welas asih adalah jalan menuju ketenangan.
Artinya, berpikir positif bukanlah produk dari budaya Barat atau psikologi modern semata, tapi juga nilai luhur lintas agama dan peradaban.
Harapan Itu Harus Dilatih, Bukan Ditunggu
Berpikir positif bukan jalan pintas, tapi jalan panjang. Ia tidak serta-merta menghapus rasa sakit, tapi menolong kita memahami bahwa rasa sakit bukan akhir dari segalanya.
Dalam hidup yang tak pernah benar-benar pasti ini, kita tak selalu bisa mengontrol keadaan. Tapi kita selalu bisa memilih bagaimana menyikapinya. Dan dalam pilihan itulah, terletak kebebasan dan kekuatan manusia yang sesungguhnya.