Oleh: Manajemen Gerbang Nusantara Berita
Menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, jagat media sosial diramaikan oleh fenomena ganjil sekaligus menyedihkan: bendera bajak laut One Piece berkibar di sejumlah tempat menggantikan posisi Sang Saka Merah Putih. Bagi sebagian orang, ini hanya kelakuan anak muda yang “tidak tahu sopan santun”. Namun kami melihat lebih dari itu—ini adalah simbol. Ini adalah bentuk kekecewaan yang dalam, dari rakyat yang lelah berharap.
Ketika rakyat mengganti bendera negaranya dengan simbol fiksi, itu bukan karena mereka tidak cinta Indonesia. Justru sebaliknya—karena mereka merasa negaranya tidak lagi mencintai mereka.
Apa yang bisa kita banggakan saat menyanyikan lagu kemerdekaan, jika hukum kita masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Saat hukum dijadikan alat kekuasaan, bukan alat keadilan, kepercayaan publik pun terkikis sedikit demi sedikit.
Apa yang bisa kita rayakan saat menyebut “Indonesia Maju”, jika ekonomi rakyat hanya bertahan hidup dari cicilan ke cicilan, dari utang ke utang?
Apa makna “merdeka” jika kebijakan negara tak pernah berpihak pada mereka yang benar-benar membutuhkan, dan hanya melayani oligarki kekuasaan?
Bendera One Piece bukan hanya ikon bajak laut dari Jepang. Ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang timpang, terhadap penguasa yang tak mendengar, dan terhadap negara yang kehilangan arah.
Jangan buru-buru menyalahkan generasi muda. Tanyakan dulu: mengapa mereka lebih percaya pada cerita fiksi daripada janji negara? Mengapa simbol bajak laut terasa lebih adil daripada institusi hukum kita?
Kami dari Gerbang Nusantara Berita melihat ini sebagai tanda zaman. Ketika kepercayaan rakyat runtuh, maka simbol-simbol negara akan kehilangan makna. Jika pemerintah tidak segera merebut kembali hati rakyat, jangan kaget bila tahun depan bukan hanya bendera One Piece yang berkibar, tapi mungkin simbol-simbol lain dari dunia fiksi yang dianggap lebih jujur daripada kenyataan.
Salam,
Manajemen Gerbang Nusantara Berita, 5 Agustus 2025