Samarinda –Kasus dugaan perakitan bom molotov oleh sejumlah mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda masih menyisakan tanda tanya besar.
Peristiwa ini bermula pada Minggu (31/8), ketika aparat kepolisian mengamankan 22 mahasiswa di area Kampus FKIP, Jalan Banggeris, Samarinda.
Dari jumlah tersebut, 18 mahasiswa dipulangkan setelah pemeriksaan, sementara 4 lainnya ditetapkan sebagai tersangka.
Polisi menyebut barang bukti yang ditemukan berupa 27 botol berisi bensin, sebuah jeriken berisi petralite, serta potongan kain yang diduga akan digunakan sebagai sumbu.
Temuan ini memunculkan dugaan kuat bahwa bahan-bahan tersebut disiapkan untuk aksi massa Aliansi Mahakam yang dijadwalkan berlangsung di Gedung DPRD Kaltim pada Senin (1/9).
Namun, tuduhan perakitan bom molotov itu tidak serta merta diyakini semua pihak.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, menegaskan agar kepolisian berhati-hati dalam menangani kasus ini.
Menurutnya, jangan sampai mahasiswa dijadikan korban dari sebuah tuduhan yang belum tentu terbukti.
“Saya tidak yakin anak-anak itu merakit molotov. Polisi harus betul-betul memastikan, jangan sampai ada skenario lain yang menunggangi gerakan mereka,” ujar Baharuddin usai mengikuti rapat anggaran di DPRD Kaltim, Selasa (2/9).
Baharuddin juga meminta kepolisian membuka seluruh informasi terkait kasus ini kepada publik.
Transparansi dinilai penting agar tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat.
“Kalau memang tidak terbukti, bebaskan empat mahasiswa itu. Jangan sampai mereka dikorbankan hanya karena ada pihak lain yang ingin mengaburkan isu,” tegasnya.
LBH Samarinda Beri Pendampingan Hukum
Di sisi lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda memastikan telah memberikan pendampingan hukum terhadap empat mahasiswa yang kini berstatus tersangka. Pendampingan dilakukan sejak proses pemeriksaan awal hingga penetapan status hukum mereka.
“Empat orang itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kami masih menguji prosedur penangkapan dan pendampingannya,” kata Irfan Ghazy, perwakilan LBH Samarinda.
LBH menilai, penting untuk memastikan seluruh prosedur hukum berjalan sesuai aturan. Mulai dari cara penangkapan, penyitaan barang bukti, hingga hak-hak mahasiswa dalam proses hukum harus benar-benar dijaga.
Aksi Aliansi Mahakam Tetap Berlanjut
Kasus ini muncul menjelang aksi besar yang akan digelar Aliansi Mahakam di Gedung DPRD Kaltim pada 1 September. Aksi tersebut rencananya diikuti berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat sipil untuk menyuarakan sejumlah isu daerah.
Dugaan adanya perakitan bom molotov kemudian menimbulkan spekulasi bahwa aksi tersebut akan berujung pada kericuhan.
Namun, sejumlah aktivis menolak anggapan tersebut. Mereka menegaskan bahwa aksi akan berlangsung damai. Tuduhan kepemilikan bom molotov dinilai bisa mencoreng gerakan mahasiswa yang selama ini dikenal mengedepankan jalur konstitusional dalam menyampaikan aspirasi.
Desakan Transparansi
Kasus ini menimbulkan respons luas di kalangan masyarakat. Sebagian pihak menilai polisi perlu lebih terbuka dalam menjelaskan kronologi penangkapan hingga barang bukti yang disita.
Hal ini dianggap penting untuk menjaga kepercayaan publik, terutama mengingat status mahasiswa yang kerap dipandang sebagai kelompok kritis namun rentan dikriminalisasi.
Anggota DPRD Kaltim Baharuddin menegaskan, jika benar ada pihak lain yang mencoba menunggangi gerakan mahasiswa, aparat kepolisian harus menelusuri dan mengungkapnya secara terang.
“Jangan sampai mahasiswa dijadikan kambing hitam dalam dinamika politik dan sosial yang lebih besar,” katanya.
Sementara itu, pihak kepolisian hingga kini belum merinci lebih lanjut perkembangan penyidikan.
Publik masih menunggu kejelasan, apakah benar empat mahasiswa tersebut terbukti merakit bom molotov, ataukah ada faktor lain yang menyebabkan mereka ditetapkan sebagai tersangka.
Menunggu Proses Hukum
Bagi keluarga mahasiswa dan jaringan aktivis, kasus ini bukan hanya soal tuduhan hukum, melainkan juga menyangkut nama baik kampus dan gerakan mahasiswa di Kaltim.
Mereka berharap proses hukum berjalan objektif, transparan, dan tidak menimbulkan stigma negatif terhadap kebebasan berpendapat di lingkungan akademik.
LBH Samarinda menegaskan akan terus mendampingi para mahasiswa hingga proses hukum selesai. “Kami akan memastikan hak-hak hukum mereka terlindungi,” kata Irfan.
Kasus ini pun menjadi sorotan publik, mengingat mahasiswa kerap menjadi motor kritik terhadap kebijakan pemerintah. Jika proses penanganannya tidak terbuka, dikhawatirkan dapat memicu ketidakpercayaan lebih luas terhadap aparat penegak hukum.
Hingga berita ini diturunkan, keempat mahasiswa tersebut masih berstatus tersangka dan menunggu proses hukum lebih lanjut. Sementara publik menanti kejelasan, tuntutan utama yang mengemuka adalah agar kepolisian mengedepankan prinsip transparansi dan keadilan dalam menangani kasus yang sensitif ini.