Peluncuran buku berjudul “Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral: Dipilih Mayoritas Rakyat Kukar, Dibatalkan MK” yang digelar di Universitas Mulawarman, Selasa (9/9/2025), memunculkan tanda tanya besar.
Judul tersebut seakan menempatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pihak yang “menganulir” pilihan rakyat Kukar, tanpa menyinggung persoalan mendasar yang menyebabkan Edi didiskualifikasi.
Perlu diingat, putusan MK yang mendiskualifikasi Edi Damansyah bukan muncul tanpa dasar. Sejak awal, status pencalonannya bermasalah karena masa jabatannya sudah melebihi ketentuan maksimal dua periode.
KPU seharusnya tidak meloloskan pendaftarannya, namun kelalaian itu akhirnya diuji dan dibatalkan oleh MK.
Akibat pencalonan yang tidak sah tersebut, negara khususnya daerah Kutai Kartanegara menderita kerugian nyata. Biaya Pilkada Kukar 2024 mencapai sekitar Rp 103,6 miliar, terdiri dari Rp 91,5 miliar untuk KPU dan Bawaslu, serta Rp 12,14 miliar untuk pengamanan.
Semua dana itu bersumber dari APBD, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan. Dengan adanya diskualifikasi, anggaran sebesar itu menjadi sia-sia, dan rakyatlah yang akhirnya harus menanggung akibatnya.
Dengan demikian, framing seolah-olah suara mayoritas rakyat “dibatalkan” justru berpotensi menyesatkan opini publik.
Yang sesungguhnya terjadi adalah pemulihan konstitusi: mencegah seseorang yang tidak memenuhi syarat hukum untuk tetap maju dalam kontestasi, sekaligus pelajaran mahal agar penyelenggara lebih cermat dalam menegakkan aturan.
Rakyat memang memiliki kedaulatan memilih, tetapi pilihan itu juga harus berada dalam koridor hukum. Tanpa aturan, demokrasi akan kehilangan arah.