Samarinda -Isu mengenai besaran gaji dan tunjangan anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) kembali mencuat dan ramai dibicarakan publik. Banyak warga mempertanyakan mengapa wakil rakyat di daerah memiliki penghasilan yang relatif besar dibandingkan rata-rata pendapatan masyarakat. Di tengah sorotan ini, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono, mencoba memberikan penjelasan yang lebih rinci dan kontekstual agar masyarakat memperoleh gambaran yang lebih utuh.
Menurut Sapto, persepsi publik sering kali keliru karena hanya melihat angka besar tanpa memahami struktur penghasilan anggota dewan. Ia menegaskan bahwa sejak periode sebelumnya, gaji pokok anggota DPRD sebenarnya kecil dan cenderung tetap. Angka yang tampak besar lebih banyak berasal dari berbagai tunjangan yang telah diatur dalam regulasi pemerintah, bukan sesuatu yang diciptakan secara sepihak oleh dewan.
Secara umum, penghasilan anggota DPRD terdiri dari gaji pokok sekitar Rp3–4 juta per bulan. Di luar itu, terdapat tunjangan yang sifatnya melekat pada jabatan, seperti tunjangan beras, transportasi, komunikasi, hingga perumahan. Jika seluruh komponen ini dijumlahkan, totalnya memang bisa mendekati Rp50 juta per bulan. Namun angka tersebut bukanlah penghasilan bersih. Sama seperti pekerja pada umumnya, anggota DPRD juga wajib membayar pajak penghasilan dan biasanya menyisihkan sebagian pendapatan untuk iuran partai maupun kewajiban sosial lainnya.
Sapto menjelaskan bahwa pekerjaan wakil rakyat tidak berhenti pada ruang sidang saja. Anggota DPRD juga memiliki beban moral dan sosial yang besar. Berbeda dengan profesi lain yang memiliki jam kerja relatif pasti, wakil rakyat justru sering kali bekerja tanpa batas waktu. Agenda resmi, rapat, sidang, hingga pertemuan dengan konstituen kerap berlangsung sejak pagi hingga malam. Bahkan di luar hari kerja, undangan dari masyarakat atau organisasi kemasyarakatan tetap datang dan perlu direspons. Fenomena “proposal dan undangan” dari konstituen ini menjadi tantangan tersendiri karena menuntut dukungan moral maupun material yang tidak jarang membebani keuangan pribadi.
Di luar persoalan gaji, Sapto juga menyoroti wacana efisiensi anggaran yang menurutnya harus berlaku adil antara pusat dan daerah. Ia mencontohkan uang harian perjalanan dinas anggota DPR RI yang ditetapkan sebesar Rp460.000 per hari. Bagi Kaltim yang wilayahnya luas dan akses transportasi antar-kabupaten mahal, angka itu dinilai tidak realistis. “Cukupkah untuk perjalanan ke Bontang, Kutim, atau Berau? Kondisi Kaltim berbeda dengan Jawa atau Jakarta. Kalau bicara efisiensi, jangan hanya daerah yang ditekan, pusat juga harus adil,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Sapto kemudian mengangkat isu Dana Bagi Hasil (DBH) yang menurutnya tidak seimbang dengan kontribusi Kaltim terhadap penerimaan negara. Ia mencontohkan, ketika harga batu bara tinggi, Produk Domestik Bruto Regional (PDBR) Kaltim bisa mencapai Rp800 triliun hingga Rp1.000 triliun. Namun kerusakan lingkungan yang ditanggung daerah besar, sedangkan DBH yang kembali justru kecil. “Dari zaman Bu Sri Mulyani sampai sekarang tidak ada perubahan,” katanya. Meski begitu, ia menegaskan tidak keberatan jika tunjangan dipangkas demi efisiensi. “Bagi saya ini pengabdian. Rezeki bisa datang dari tempat lain, asal halal. Yang penting mindset-nya harus benar.”
Berdasarkan APBD 2025, alokasi gaji dan tunjangan DPRD Kaltim tercatat Rp52,2 miliar, naik Rp2 miliar dibanding tahun sebelumnya. Dengan total 55 anggota, rata-rata alokasi per anggota sekitar Rp79 juta per bulan. Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menyebut besaran tunjangan ditentukan pemerintah pusat melalui regulasi resmi, bukan DPRD. Sementara itu Sekretaris Daerah Kaltim, Sri Wahyuni, menyatakan akan mengecek kembali mekanisme penetapan alokasi tersebut agar sesuai ketentuan.
Penjelasan ini penting untuk meluruskan persepsi publik. Selama ini, perdebatan soal gaji anggota dewan kerap berhenti pada angka nominal yang tampak besar tanpa melihat komposisi rinci maupun tanggung jawab yang melekat. Meski demikian, transparansi dan akuntabilitas tetap diperlukan agar publik memiliki akses informasi yang jelas mengenai penghasilan pejabat publik. Dengan begitu, warga dapat menilai kinerja wakil rakyat secara lebih proporsional.
Kedepan, edukasi publik mengenai struktur penghasilan pejabat publik, termasuk anggota DPRD, akan membantu membangun diskursus yang lebih sehat dan berbasis fakta. Harapannya, diskusi mengenai penghasilan anggota dewan tidak lagi sekadar menjadi perdebatan nominal, tetapi beralih pada evaluasi kualitas kerja, integritas, dan kontribusi nyata mereka terhadap pembangunan daerah.