Samarinda –Hubungan panas antara DPRD Kalimantan Timur dan pihak Rumah Sakit Haji Drajat (RSHD) mencapai titik baru. Setelah empat kali diundang menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPRD Kaltim dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), pihak manajemen RSHD tak juga hadir. Wakil rakyat pun merasa dilecehkan dan mulai mempertimbangkan langkah hukum.
Sekretariat Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menegaskan pihaknya sudah memberi kesempatan seluas-luasnya agar RSHD menyampaikan klarifikasi terkait persoalan upah pegawai. Rapat terakhir bahkan digelar dengan Disnaker agar proses mediasi lebih kuat. Namun, pihak manajemen rumah sakit tetap tak muncul di forum resmi tersebut.
“Kami sudah memanggil empat kali dan belum sekalipun mereka hadir. Disnaker selalu hadir, tapi RSHD tidak,” ujarnya kepada awak media pada Rabu, 24 September 2025. Ia menilai sikap tersebut sudah mencoreng marwah lembaga legislatif daerah. DPRD Kaltim, kata dia, berperan mengawasi pelayanan publik termasuk sektor kesehatan. Ketidakhadiran berulang berarti menghambat upaya penyelesaian persoalan ketenagakerjaan.
DPRD Kaltim awalnya masih memberi ruang dialog. Bahkan pada pertemuan terakhir, Disnaker meminta agar DPRD kembali memfasilitasi mediasi sebelum masa berlaku Nota Kesepahaman II berakhir pada 2 Oktober 2025. DPRD menyetujui untuk menunggu hingga tenggat itu habis. Namun jika tidak ada juga itikad baik dari pihak rumah sakit, mereka memastikan kasus ini akan berlanjut ke jalur hukum.
“Bukan kami tidak mau membuka forum konsolidasi atau mediasi lagi. Tetapi per hari ini kami simpulkan pihak manajemen RSHD nyata-nyata melecehkan lembaga DPRD. Jadi setelah masa tunggu habis, langkah hukum akan kami tempuh,” terang Darlis.
Isu upah pegawai RSHD memang sudah lama menjadi sorotan. Komisi IV DPRD Kaltim membidangi urusan kesejahteraan rakyat, termasuk tenaga kerja dan kesehatan. Aduan pegawai soal hak ketenagakerjaan ditangani DPRD dengan mengundang semua pihak. Namun, tanpa kehadiran RSHD, pembahasan berjalan satu arah dan tak menghasilkan keputusan konkret.
Dalam penjelasannya, Darlis menyebut DPRD tidak sekadar menyoroti ketidakhadiran pihak rumah sakit, tetapi juga sikap manajemen yang dianggap mengabaikan mekanisme resmi pemerintahan. “Kalau kami terus membuka forum mediasi tapi mereka tidak hadir, tidak ada lagi gunanya,” tegasnya.
Langkah hukum yang dimaksud meliputi proses pro justitia atau penyelesaian melalui jalur pidana sesuai aturan yang berlaku. Artinya, bila sampai batas waktu 2 Oktober 2025 manajemen RSHD tidak memenuhi kewajibannya, DPRD Kaltim siap membawa persoalan itu ke aparat penegak hukum. Ancaman ini juga untuk menunjukkan keseriusan legislatif mengawal hak-hak pegawai rumah sakit.
Sejumlah pengamat menilai ketegasan DPRD Kaltim ini wajar, mengingat lembaga legislatif punya fungsi pengawasan yang harus dihormati oleh institusi pelayanan publik. Rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan masyarakat seharusnya transparan dan kooperatif, terlebih dalam isu kesejahteraan tenaga kerja yang berhubungan langsung dengan mutu layanan pasien.
Situasi ini juga mencerminkan bagaimana hubungan eksekutif, legislatif, dan institusi pelayanan publik diuji. DPRD Kaltim menegaskan mereka masih membuka pintu dialog, tetapi tidak akan segan menggunakan kewenangan hukum bila diperlukan. Langkah ini diambil untuk memastikan hak-hak pegawai terlindungi dan pelayanan publik tidak terganggu.
DPRD Kaltim kini menunggu perkembangan hingga tenggat waktu berakhir. Jika manajemen RSHD bersedia hadir sebelum 2 Oktober dan menyampaikan klarifikasi, kemungkinan jalur hukum dapat dihindari. Namun jika tidak, proses hukum menjadi opsi terakhir.
Kasus RSHD menjadi contoh bagaimana lembaga perwakilan rakyat di daerah berupaya memperkuat akuntabilitas pelayanan publik. Ke depan, DPRD Kaltim berencana melibatkan pemerintah provinsi untuk memperkuat penyelesaian masalah ini. “Kami ingin penyelesaian terbaik, tapi kami juga punya batas kesabaran,” pungkas Darlis.
Publik kini menunggu apakah manajemen RSHD akan merespons. Ketidakhadiran mereka bukan hanya persoalan etik, melainkan juga berimplikasi hukum. Dengan sorotan media dan desakan DPRD, tekanan terhadap manajemen rumah sakit kian besar. Jika mereka terus absen, DPRD Kaltim memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan yang berlaku.