Penulis: Maulidina Erta Sefhira, Mahasiswa Universitas Mulawarman
Samatinda –Pemerintah saat ini sedang berupaya untuk menghemat anggaran negara agar keuangan negara lebih sehat. Langkah ini tentu penting. Tapi di saat kata “efisiensi” digaungkan, ada satu sektor yang langsung was-was, yaitu dunia pendidikan. Pertanyaannya adalah: Apakah penghematan ini merupakan solusi terbaik, atau justru mimpi buruk bagi generasi penerus bangsa?
Secara logika, efisiensi itu baik. Semua orang setuju kalau pemborosan harus diberantas. Tapi kenyataannya, sering kali efisiensi justru berarti pemotongan anggaran. Bagi pendidikan, ini sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya jika dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sudah terbatas diperkecil lagi? Bagaimana jika tunjangan guru honorer yang kecil itu juga ikut dikurangi? Atau program pelatihan yang penting untuk meningkatkan kemampuan guru malah dibatalkan?
Dampaknya bisa langsung dirasakan. Sekolah-sekolah di daerah terpencil yang sangat bergantung pada dana pemerintah jadi yang pertama merasakan akibatnya. Guru-guru, yang merupakan jantung pendidikan, semakin terbebani. Kalau guru saja kesejahteraannya dan pelatihannya tidak diperhatikan, bagaimana bisa mereka mendidik anak-anak menjadi generasi cerdas dan berkualitas?
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Banyak birokrasi lebih memilih jalan mudah. Memangkas biaya perjalanan dinas yang tidak penting tentu baik. Tapi yang lebih sering terjadi adalah memangkas program-program penting, seperti beasiswa bagi anak yang kurang mampu atau menunda perbaikan gedung sekolah yang sudah rusak parah. Selama pola pikir birokrasi hanya fokus membuat laporan keuangan terlihat hemat, maka “efisiensi” itu hanya akan menjadi kata kosong, tanpa manfaat nyata.
Padahal, investasi di pendidikan adalah investasi terbaik untuk masa depan negara. Menghemat anggaran pendidikan hari ini sama saja menabung masalah besar di masa depan. Anak-anak yang putus sekolah karena tidak punya biaya, serta guru yang kualitasnya menurun karena kurang pelatihan, adalah bom waktu yang bisa meledak jadi masalah sosial dan ekonomi yang lebih besar.
Efisiensi yang sebenarnya di dunia pendidikan bukan sekadar memangkas anggaran, tapi bagaimana memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan digunakan dengan tepat dan efektif. Misalnya, menghilangkan program-program yang tumpang tindih, memanfaatkan teknologi agar dana bisa sampai langsung ke yang membutuhkan, dan tentunya mendengarkan langsung pengajar serta praktisi pendidikan.
Rakyat mungkin tidak peduli dengan angka defisit negara yang fantastis. Tapi mereka peduli anak-anak mereka bisa sekolah dengan baik dan mendapatkan masa depan yang cerah. Kalau kebijakan penghematan ini membuat ruang kelas semakin sempit, fasilitas sekolah makin rusak, dan semangat guru menurun, penghematan ratusan triliun rupiah itu tidak berarti apa-apa. Itu bukan penghematan, melainkan pengorbanan masa depan anak bangsa demi angka-angka di laporan keuangan.