Jakarta –Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Putusan tersebut mengubah ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang sebelumnya mewajibkan seluruh pekerja menjadi peserta Tapera, kini dimaknai sebagai pilihan sukarela. Dengan demikian, pekerja tidak lagi dipaksa untuk menyetor iuran bulanan.
Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan menyatakan, tabungan pada hakikatnya adalah bentuk simpanan yang bersumber dari kesadaran dan kemauan individu. Karena itu, menjadikan Tapera sebagai kewajiban yang mengikat seluruh pekerja bertentangan dengan prinsip dasar tabungan. MK menilai negara tidak bisa memaksakan iuran dalam bentuk tabungan wajib, sebab hal tersebut tidak sesuai dengan asas sukarela yang melekat pada konsep menabung.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menambahkan, keberadaan Tapera dalam bentuk kewajiban justru menggeser tanggung jawab negara. Menurutnya, konstitusi telah menegaskan bahwa negara berkewajiban menjamin setiap warga negara dapat bertempat tinggal secara layak. Namun, kewajiban iuran Tapera membuat peran itu beralih seolah-olah negara hanya berfungsi sebagai pemungut iuran dari masyarakat.
Saldi menilai, pengalihan beban ini tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. Ia menekankan, justru kelompok pekerja rentan yang paling terdampak dengan adanya kewajiban iuran tersebut. Bukannya mendapatkan perlindungan, mereka malah terbebani kewajiban baru yang mengurangi pendapatan bulanan. Padahal, tanggung jawab negara dalam hal perumahan seharusnya diupayakan melalui kebijakan anggaran dan program publik, bukan lewat pungutan wajib dari pekerja.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangannya juga mengungkapkan adanya potensi duplikasi iuran. Sebelumnya, pekerja sudah diwajibkan mengikuti berbagai skema jaminan sosial, seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Dengan adanya Tapera, pekerja kembali diwajibkan menyetor iuran, meskipun sebagian dari mereka sudah memiliki rumah sendiri. Hal ini menimbulkan beban ganda tanpa mempertimbangkan kondisi nyata para pekerja.
Enny menilai, pemungutan iuran wajib Tapera tidak memiliki keadilan karena berlaku merata tanpa pengecualian. Artinya, pekerja yang sudah memiliki rumah tetap dibebani iuran. Situasi ini bertolak belakang dengan prinsip proporsionalitas dalam hukum.
Putusan MK tersebut sekaligus menjawab keresahan publik yang muncul sejak pemerintah berencana memberlakukan kewajiban iuran Tapera bagi seluruh pekerja, baik di sektor formal maupun informal. Banyak kalangan pekerja menilai kebijakan tersebut memberatkan karena menambah potongan rutin dari gaji yang sudah terbatas.
Dengan perubahan makna kata “wajib” menjadi “dapat”, pekerja kini memiliki kebebasan untuk memilih. Mereka yang merasa membutuhkan fasilitas Tapera untuk perumahan dapat bergabung, sementara yang tidak merasa perlu tidak diwajibkan untuk ikut serta.
Secara hukum, putusan ini bersifat final dan mengikat. Artinya, pemerintah tidak memiliki ruang untuk mengajukan upaya hukum lain. Konsekuensinya, pemerintah perlu melakukan penyesuaian terhadap regulasi pelaksana, termasuk peraturan pemerintah dan kebijakan teknis yang sebelumnya mengatur Tapera sebagai kewajiban.
Keputusan MK ini juga memunculkan sejumlah implikasi. Pertama, program Tapera tetap bisa berjalan, tetapi dengan sifat sukarela. Kedua, beban iuran pekerja menjadi lebih ringan karena potongan bulanan yang sebelumnya diwajibkan kini tidak lagi otomatis berlaku. Ketiga, pemerintah harus mencari strategi baru untuk menjamin akses perumahan rakyat, sesuai mandat konstitusi.
Tapera awalnya digagas sebagai solusi untuk membantu pekerja memiliki rumah melalui skema tabungan jangka panjang. Iuran yang dikumpulkan dari pekerja dan pemberi kerja dimaksudkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan rumah dengan mekanisme pembiayaan yang berjangka panjang, mirip konsep dana bergulir. Namun, sejak awal keberadaannya menuai kritik karena dianggap membebani pekerja, terutama di sektor swasta yang sudah dikenai berbagai potongan lain.
Ke depan, pemerintah perlu mengkaji ulang efektivitas Tapera dalam wujud sukarela. Tantangan terbesar adalah bagaimana menarik minat pekerja agar tetap bersedia menjadi peserta, tanpa adanya kewajiban hukum. Jika partisipasi rendah, program Tapera berisiko tidak mencapai tujuan awalnya. Sebaliknya, jika dikelola secara transparan dan memberi manfaat nyata, Tapera masih berpeluang mendapat kepercayaan publik.
Dengan putusan ini, MK menegaskan kembali posisi negara sebagai penjamin hak dasar warga, termasuk hak atas perumahan. Alih-alih membebankan kewajiban tambahan, negara didorong untuk memperkuat kebijakan perumahan publik melalui subsidi, pembangunan rumah bersubsidi, maupun skema pembiayaan lain yang tidak memberatkan pekerja.