Penulis: Rakyat Kukar Yang Peduli
Edi Damansyah mungkin sudah selesai dalam gelanggang politik formal setelah didiskualifikasi dari pencalonannya di Pilkada Kutai Kartanegara 2024. Namun, alih-alih menepi dan memberi ruang regenerasi, kini ia justru muncul di berbagai lini sebagai “ketua-ketuaan”.
Tercatat, Edi Damansyah merangkap beberapa jabatan: Ketua Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Cabang Kukar periode 2023–2028, Ketua Umum Pimpinan Daerah Dewan Masjid Indonesia Kukar periode 2025–2030, serta Ketua KTNA Kukar periode 2025–2030. Rangkaian posisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar demi pengabdian, atau hanya cara lain untuk tetap mempertahankan eksistensi politik setelah gagal di arena demokrasi?
Fenomena ini memberi kesan bahwa Edi seakan tidak rela melepas panggung. Dari masjid, pertanian, hingga organisasi kesehatan, semua dipimpin olehnya. Padahal, masyarakat Kukar tentu berharap lahirnya tokoh-tokoh baru yang segar, punya visi inovatif, dan benar-benar fokus pada pengembangan bidang yang mereka pimpin, bukan sekadar “jabatan koleksi”.
Kritik utamanya adalah: jangan sampai organisasi-organisasi strategis ini kehilangan ruhnya karena dijadikan sekadar alat legitimasi atau pelarian setelah kekalahan politik. Menjadi pemimpin organisasi seharusnya lahir dari dedikasi khusus dan keahlian di bidang tersebut, bukan karena nama besar masa lalu.
Jika Edi Damansyah ingin terus berkontribusi, sebaiknya ia membuktikan dengan karya nyata di tiap jabatan itu, bukan hanya sebagai simbol “ketua” yang hadir di acara seremonial. Kukar butuh kerja nyata, bukan sekadar orang yang selalu ingin berada di depan panggung.