Penulis: Zacky Mahardika Yuwono, Mahasiswa Universitas Mulawarman
Rencana pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III kembali memunculkan perdebatan di ruang publik. Program pengampunan pajak ini sejatinya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek, namun juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan tersebut benar-benar solusi pragmatis, atau justru merusak kredibilitas sistem perpajakan nasional?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menolak wacana tersebut. Ia menilai, tax amnesty yang dilakukan berulang kali hanya akan menurunkan kepatuhan wajib pajak serta memberi insentif bagi pengemplang pajak. Wajib pajak bisa beranggapan bahwa selalu ada kesempatan “pemutihan” berikutnya, sehingga kepatuhan menjadi lemah.
Memang, tax amnesty sebelumnya terbukti mendatangkan penerimaan signifikan, seperti pada 2016–2017 (Jilid I) dengan deklarasi harta Rp4.855 triliun, dan pada 2022 (Jilid II) dengan deklarasi Rp595 triliun. Namun, di balik angka-angka tersebut, ada kerugian jangka panjang berupa hilangnya rasa keadilan bagi wajib pajak yang taat. Mereka merasa dikesampingkan karena justru pengemplang pajak yang mendapatkan keringanan.
Fenomena ini berpotensi melahirkan moral hazard, di mana keadilan dan kredibilitas perpajakan melemah. Belajar dari pengalaman negara lain, seperti Turki yang telah 37 kali melakukan tax amnesty hingga menyebabkan penurunan kredibilitas dan ketidakadilan distribusi kekayaan, Indonesia patut berhati-hati. Sebaliknya, negara seperti Norwegia yang jarang menggunakan kebijakan ini justru mampu menjaga stabilitas dan keadilan perpajakannya.
Oleh karena itu, menolak wacana Tax Amnesty Jilid III dapat dikatakan langkah tepat demi menjaga kredibilitas negara dalam jangka panjang. Pemerintah sebaiknya fokus melakukan reformasi perpajakan yang menjamin kepatuhan dan keadilan, sementara masyarakat turut mengawasi agar prinsip keadilan tetap terjaga. Dengan demikian, sistem perpajakan Indonesia akan semakin kokoh, adil, dan berdaya tahan.