Penulis: Devita Aida Arisanti, Politeknik Negeri Jakarta
Reportase: Jakarta —Jurnalisme Indonesia sedang berada di persimpangan besar. Di satu sisi, teknologi digital membuka peluang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, tekanan ekonomi, politik, serta perubahan perilaku pembaca membuat masa depan media penuh ketidakpastian. Pertanyaannya: seperti apa wajah jurnalisme Indonesia lima sampai sepuluh tahun mendatang?
Perubahan paling terasa ada pada cara orang mengonsumsi berita. Menurut laporan Digital 2025 dari We Are Social dan DataReportal, lebih dari 212 juta warga Indonesia kini terkoneksi internet, dengan 143 juta di antaranya aktif di media sosial. Angka ini menandakan bahwa ponsel dan media sosial telah menjadi ruang utama di mana berita dibaca, dibagikan, bahkan diperdebatkan. Persaingan media tidak lagi hanya dengan sesama portal berita, tapi juga dengan video singkat, unggahan viral, dan opini yang beredar bebas di TikTok maupun Instagram.
Akibatnya, media dituntut cepat dan atraktif. Judul bombastis atau clickbait kerap menjadi strategi. Penelitian ISEAS Yusof Ishak Institute (2022) menyoroti bahwa model bisnis berbasis iklan membuat media Indonesia semakin bergantung pada trafik, yang pada akhirnya menekan kualitas liputan investigatif. “Kecepatan memang penting, tapi jangan sampai mendahului kebenaran,” kata seorang redaktur senior dalam sebuah diskusi media di Jakarta.
Selain itu, kecerdasan buatan (AI) mulai masuk ke ruang redaksi. Pew Research Center (2023) mencatat banyak jurnalis global khawatir AI akan mengurangi lapangan kerja. Namun, peluangnya juga terlihat sebagai alat bantu. Di Indonesia, laporan Aliansi Jurnalis Independen (2025) menyebut AI sudah dipakai untuk transkripsi, penulisan cepat, hingga verifikasi data sederhana. Media Indonesia pada 2024 bahkan mengingatkan bahwa disiplin verifikasi harus diperketat agar AI tidak menjadi pintu masuk bagi banjir disinformasi. Bagi redaksi besar, AI mungkin mempercepat kerja harian. Namun, bagi media kecil, keterbatasan dana dan keterampilan bisa membuat mereka tertinggal.
Tantangan lain datang dari kondisi kebebasan pers. Reporters Without Borders (2024) menempatkan Indonesia dalam posisi yang masih rapuh. Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi, seperti laporan Reuters (2024) tentang pembakaran rumah seorang wartawan di Sumatra Utara setelah ia menulis soal judi ilegal. Baru-baru ini, Reuters (2025) juga memberitakan bahwa akses wartawan ke Istana ditangguhkan setelah ada pertanyaan kritis kepada Presiden, langkah yang menimbulkan perdebatan soal keterbukaan. Wahyu Dhyatmika, CEO Tempo Digital, dalam wawancara dengan Global Investigative Journalism Network (2023) menegaskan bahwa model bisnis media di Indonesia tidak selalu mendukung peran kontrol sosial, karena banyak outlet masih bergantung pada iklan pemerintah daerah.
Apa artinya semua ini bagi publik? Kemungkinan besar, cara orang mengakses berita akan makin terfragmentasi. Generasi muda lebih nyaman dengan ringkasan singkat di media sosial, sementara sebagian pembaca yang menginginkan kedalaman akan memilih berlangganan konten premium. Jika media terus mengejar klik, publik justru akan kebanjiran konten dangkal yang memperkuat bias masing-masing. Sementara itu, media lokal yang punya peran vital bagi warga daerah menghadapi risiko hilang karena kekurangan dana dan tekanan politik.
Lalu, bagaimana agar jurnalisme tetap relevan? Jawabannya ada di dua arah. Pertama, redaksi perlu berinvestasi pada kemampuan baru: literasi digital, pemanfaatan AI yang etis, serta model bisnis yang tidak hanya mengandalkan iklan. Kedua, pemerintah dan masyarakat sipil harus memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis serta memastikan regulasi platform digital benar-benar berpihak pada media, sebagaimana aturan 2024 yang mewajibkan platform membayar konten berita.
Masa depan jurnalisme Indonesia pada akhirnya bukan sekadar tentang bertahan hidup di tengah derasnya teknologi. Ia adalah soal menjaga nilai dasar: keberanian mengungkap kebenaran, disiplin verifikasi, dan kepercayaan publik. Media yang mampu menyeimbangkan kecepatan dengan kedalaman akan tetap dipercaya. Sebaliknya, yang hanya mengejar klik tanpa tanggung jawab cepat atau lambat akan kehilangan yang paling berharga dalam profesi ini: kepercayaan masyarakat.