Penulis: Tasya Fauzilyah, Mahasiswa Universitas Mulawarman
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo yang telah menjangkau 38 provinsi. Sasaran utamanya adalah pelajar Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Program ini berupa pemberian makanan sehat secara gratis dengan harapan dapat meningkatkan gizi anak-anak di Indonesia. Untuk menjalankannya, pemerintah membentuk pihak khusus yang menangani produksi makanan, yaitu SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi).
Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga pelaksana program ini menerima anggaran yang sangat besar dari pemerintah, yaitu Rp71 triliun pada tahun 2025. Angka tersebut menjadi salah satu yang tertinggi di antara kementerian atau lembaga lain, termasuk Kementerian Pendidikan. Bahkan, untuk tahun 2026, anggaran MBG sudah ditetapkan lebih dari Rp300 triliun.
Pertanyaannya, sejauh mana program ini benar-benar menjangkau masyarakat dan memberikan manfaat sesuai harapan? Mengingat anggaran yang digelontorkan sangat besar, masih ada sejumlah daerah pedalaman yang belum merasakan langsung program ini. Pemerintah seharusnya memprioritaskan masyarakat di wilayah terpencil karena mereka yang paling membutuhkan manfaat dari program tersebut.
Selain itu, efektivitas MBG juga dipertanyakan karena sempat terjadi kasus keracunan pada pelajar akibat konsumsi makanan dari program ini. Hal ini menunjukkan kurangnya pengawasan pemerintah serta ketidaksiapan SPPG di berbagai daerah. Dengan anggaran yang sangat besar, seharusnya pengelolaan dan kualitas pelaksanaan program lebih maksimal. Evaluasi besar-besaran mutlak diperlukan agar program ini tidak merugikan masyarakat.
Pertanyaan lain yang muncul adalah: mengapa anggaran pendidikan justru lebih kecil daripada MBG? Padahal, kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera, baik dari segi sarana prasarana maupun kualitas tenaga pendidik. Bukankah investasi terbaik bagi bangsa adalah peningkatan kualitas pendidikan sumber daya manusia? Maka, pendidikan juga semestinya mendapat alokasi anggaran besar demi mendukung peningkatan kualitas bangsa.
Menteri Keuangan, Bapak Purbaya, sempat menyampaikan bahwa sisa anggaran MBG yang tidak terserap akan dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan. Hingga Oktober 2025, dana yang digunakan untuk program ini baru Rp21 triliun, belum mencapai setengah dari total anggaran. Langkah ini patut diapresiasi mengingat masih banyak sektor lain yang membutuhkan perhatian, termasuk pendidikan.
Daripada anggaran besar hanya tersimpan, lebih baik dialokasikan untuk program lain yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Misalnya, bantuan sosial langsung untuk mengurangi kemiskinan. Dampak jangka panjangnya bisa membantu membayar biaya sekolah dan kebutuhan lain, terutama bagi anak-anak yang tidak bersekolah. Program MBG memang bermanfaat, tetapi manfaatnya hanya dirasakan oleh anak-anak sekolah, sementara masih banyak yang tidak menikmati bangku pendidikan.
Besarnya anggaran MBG memang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan gizi masyarakat. Namun, pelaksanaan program masih dipenuhi evaluasi yang harus dibenahi. Pemerintah perlu meninjau kembali efektivitas MBG agar anggaran besar sebanding dengan manfaat yang dihasilkan. Jika tidak, sebaiknya dana dialihkan untuk sektor lain yang lebih mendesak, terutama pendidikan.