Penulis: Syifwa Muthiah Syukri, Mahasiswa Universitas Mulawarman
Bayangkan jika orang tua kita menyimpan seluruh uang di laci, tidak digunakan untuk belanja, usaha, maupun liburan. Lama-lama uang itu hanya akan menjadi angka dan tidak memberi dampak apapun. Hal inilah yang kurang lebih terjadi pada dana pemerintah selama ini. Mengendap diam di bank sentral, padahal ekonomi butuh “bensin” untuk bergerak.
Pada awal September 2025, Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengambil langkah berani dengan menggelontorkan dana pemerintah sebanyak Rp200 triliun ke sejumlah bank BUMN. Langkah ini bukan tanpa risiko, namun kebijakan ini patut diapresiasi. Di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi dan belum pulihnya sektor rill, tambahan dana ke bank justru bisa menjadi pemantik pertumbuhan baru.
Penempatan dana ini bukan untuk disimpan, melainkan untuk digulirkan kembali dalam bentuk kredit produktif. Pemerintah sudah menegaskan bahwa bank tidak boleh memakai dana tersebut untuk membeli surat utang negara atau investasi non-produktif. Artinya, Rp200 triliun ini diarahkan langsung ke jantung perekonomian seperti UMKM dan sektor strategis lainnya.
Data dari OJK pun menunjukkan bahwa setelah injeksi dana, rasio aset likuid per deposito pihak ketiga (AL/DPK) meningkat dari 24,01% menjadi 25,57%. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) juga mulai bergerak ke arah ideal, mencapai 86,03%. Ini menandakan bahwa bank mulai punya ruang lebih luas untuk menyalurkan kredit. Dengan kredit yang lebih longgar, pelaku usaha lebih mudah mendapatkan pembiayaan. Pada akhirnya, konsumsi meningkat, produksi jalan, dan lapangan kerja terbuka.
Selain itu, kita tidak bisa menunggu pasar bekerja sendiri saat ekonomi stagnan. Pemerintah harus turun tangan dan langkah ini bukan bentuk intervensi membabi buta, tetapi strategi fiskal yang sudah digunakan banyak negara saat sedang kesusahan dana. Pada masa pandemi tahun 2020, kebijakan serupa juga pernah diterapkan dan terbukti membantu perbankan tetap stabil.
Perbedaannya, saat ini kebijakan dilakukan lebih selektif. Hanya bank BUMN dan Bank Syariah Indonesia yang mendapatkan dana dengan total pembagian: Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing Rp55 triliun; BTN Rp25 triliun; dan BSI Rp10 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak asal menyebar dana, tetapi tetap mempertimbangkan kapasitas dan arah penyaluran kredit masing-masing bank.
Saya yakin dana Rp200 triliun ini tidak akan hilang atau disalahgunakan. Karena dana ini cuma diberikan sementara dan bisa diambil kembali kapan saja jika dibutuhkan. Aturannya juga jelas, jadi aman. Ditambah lagi, ada pengawasan dari OJK dan Kementerian Keuangan supaya semuanya berjalan dengan transparan dan bertanggung jawab. Jadi kita tidak perlu khawatir dana ini akan hilang atau disalahgunakan.
Di tengah kondisi dunia yang tidak pasti dan ekonomi kita yang lagi melambat, menyimpan dana Rp200 triliun di bank BUMN itu langkah keren dan maju. Ini bukan cuma soal angka yang besar, tetapi sebagai bukti bahwa pemerintah peduli dengan ekonomi saat ini.
Memang tantangannya ada, tapi daripada cuma mengomel, mending kita dorong supaya pengawasannya ketat, transparan, dan dicek rutin. Soalnya kalau dana publik dipakai bener-bener buat masyarakat, keuangan negara tidak cuma angka di laporan, tapi bisa jadi angin segar buat kita semua.