Oleh: Raden Muhammad Fajar Visandy, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tengah mengguncang dunia jurnalistik di Indonesia. Topik ini mengemuka dalam acara yang digelar pada 30 September di Auditorium Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), yang membahas bagaimana AI menjadi katalis perubahan di industri media.
Hadir sebagai pembahasan utama, AI dipandang bukan sebagai ancaman yang menghapus profesi jurnalis, melainkan mendorong transformasi peran mereka menjadi operator, kurator, sekaligus validator data.
AI kini hadir sebagai mitra kerja penting dalam produksi berita. Teknologi ini mempercepat proses penyuntingan, analisis visual, hingga pembuatan peta pikiran. Namun, peran manusia tetap tak tergantikan. Jurnalis dituntut untuk mengawasi, mengkurasi, dan memverifikasi hasil kerja AI demi menjaga kualitas dan integritas informasi.
“AI hanya alat bantu, penulisnya tetap manusia. Jangan sampai karya jurnalis disalahpahami sebagai produk mesin,” ujar salah satu narasumber.
Transformasi ini diibaratkan seperti revolusi industri, di mana pekerja pabrik bergeser menjadi operator mesin. Dalam dunia media, jurnalis beralih dari penulis murni menjadi operator prompt yang mengarahkan sistem AI agar tetap sejalan dengan nilai jurnalistik.
Untuk menghasilkan karya berkualitas, jurnalis juga harus memahami fungsi tiap platform AI. ChatGPT unggul dalam menulis teks, Gemini dalam gambar dan video, Anthropic Claude dalam logika teknis, sementara Notebook LM menjadi andalan untuk laporan berbasis dokumen karena mampu mengolah teks, foto, hingga audio.
Meski demikian, penggunaan AI juga menghadirkan tantangan serius. Banyak konten berbasis AI dinilai dangkal, repetitif, serta minim kedalaman emosional khas jurnalis manusia. Selain itu, bias budaya akibat dominasi data Barat pada model AI kerap menimbulkan stereotip terhadap subjek Asia.
Dengan kondisi ini, peran jurnalis tetap vital. Mereka harus memastikan penggunaan AI berjalan sesuai etika, menghindari replikasi massal, serta menjaga kedalaman berita.
Kesimpulannya, AI bukanlah pengganti, melainkan akselerator. Masa depan jurnalisme di Indonesia ditentukan oleh kemampuan jurnalis menggabungkan kecepatan teknologi dengan sentuhan manusiawi berupa kurasi, analisis, dan etika.