Oleh: Kalyca Ninda Nf, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Di tengah derasnya arus transformasi digital dan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), jurnalistik Indonesia dihadapkan pada tantangan etis yang semakin kompleks. Diskusi dalam forum Journalistic Expo Day dan berbagai laporan industri menegaskan bahwa etika tetap menjadi fondasi utama dalam menjaga kepercayaan publik dan kualitas media. Meski teknologi dan model bisnis terus berubah, prinsip jurnalisme akurat dan bertanggung jawab harus dipertahankan.
Tantangan di Era Informasi Cepat dan Algoritma
Alfons Yoshio Hartanto, editor pemeriksa fakta Tirto.id, menilai tantangan terbesar jurnalis saat ini adalah menjaga akurasi di tengah derasnya arus media sosial dan penggunaan AI. “Kita hidup di era di mana kecepatan dianggap segalanya, tetapi tugas jurnalis justru memastikan bahwa yang cepat itu juga benar,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dalam penggunaan AI serta kewaspadaan terhadap potensi kesalahan etis. “Teknologi hanyalah alat. Nilai jurnalistik tetap harus berakar pada fakta, bukan algoritma,” tambah Alfons.
Data Reuters Institute Digital News Report 2025 menunjukkan, 72% pembaca berita di Asia Tenggara memperoleh informasi dari media sosial dan aplikasi pesan instan. Hal ini menempatkan algoritma sebagai gatekeeper baru, menggantikan peran redaksi tradisional.
Transformasi Model Bisnis dan Peran Mediapreneur
Salman Alfarisi, praktisi digital dari PaveNow, menegaskan masa depan media bergantung pada inovasi kewirausahaan konten. “Jurnalis masa depan tidak hanya menulis berita, tetapi juga harus memahami produk, pasar, dan teknologi. Inilah era mediapreneur,” ujarnya.
Menurut data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) 2024, sekitar 40% media online lokal mulai beralih ke model langganan dan kolaborasi komunitas untuk menjaga keberlanjutan serta kemandirian dari tekanan iklan digital.
Kreativitas dan Adaptasi Jurnalis Muda
Rahma Hayuningdyah dari MDTV menegaskan pentingnya jurnalis muda memiliki ide segar dan integritas kuat. “Dunia media sekarang menuntut kemampuan storytelling lintas platform,” katanya.
Tren konten multimedia seperti podcast, reels, hingga jurnalisme imersif berbasis AR/VR mulai diadopsi media besar untuk memperluas jangkauan audiens. Laporan We Are Social 2025 mengungkap, 92% pengguna internet Indonesia mengonsumsi berita lewat video pendek, menuntut jurnalis menguasai produksi visual dan distribusi multi-kanal.
Tekanan Platform Global dan Maraknya Hoaks
Djony Herfan, dosen Politeknik Negeri Jakarta, menyoroti dominasi platform global seperti Google dan Meta yang menguras pendapatan iklan media lokal. “Media tidak bisa lagi bergantung pada iklan. Mereka harus mencari model bisnis baru seperti langganan digital, kolaborasi lintas platform, atau monetisasi lewat podcast dan video,” jelasnya.
Situasi makin rumit dengan maraknya hoaks menjelang Pemilu 2024, di mana sebagian besar disinformasi tersebar melalui video pendek dan teks provokatif. Dalam kondisi ini, verifikasi fakta menjadi kunci menjaga kredibilitas.
Alfons Yoshio kembali menegaskan bahwa AI sebaiknya dipakai untuk memperkuat jurnalisme kritis, bukan menggantikan peran manusia. “AI hanya bisa mengolah data. Untuk menghadirkan jurnalisme yang kritis dan empatik, peran manusia tidak tergantikan,” katanya.
Etika sebagai Fondasi Moral
Dalam wawancara, Djony Herfan menekankan pentingnya etika jurnalistik sebagai fondasi moral yang menentukan arah jurnalisme Indonesia. “Di masa depan, kepercayaan menjadi mata uang utama media. Etika adalah investasi reputasi yang tak tergantikan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan jurnalis muda untuk berani bertanya dengan nurani, serta menjadikan verifikasi sebagai tindakan etis, bukan sekadar prosedur. “Jurnalisme bukan profesi netral, melainkan profesi yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Literasi Media dan Partisipasi Publik
Fenomena citizen journalism semakin berkembang, menjadikan masyarakat bukan hanya konsumen, tetapi juga produsen berita. Hal ini memperkaya ekosistem informasi, namun juga meningkatkan risiko penyebaran misinformasi jika tidak diverifikasi.
Riset American Psychological Association menunjukkan, orang cenderung membagikan informasi palsu yang sesuai dengan identitas dan emosi mereka. Karena itu, peningkatan literasi media publik menjadi agenda penting demi terciptanya jurnalisme yang sehat dan kredibel.
Kesimpulan
Masa depan etika jurnalistik di Indonesia menuntut jurnalis untuk tidak hanya beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan pola konsumsi, tetapi juga memperkuat komitmen terhadap akurasi, integritas, dan tanggung jawab sosial.
AI dan algoritma memang bisa menjadi alat bantu, namun manusia tetap pengawal utama kebenaran dan etika berita. Dengan kesadaran etis yang kuat serta inovasi dalam model bisnis dan produksi konten, jurnalisme Indonesia diharapkan mampu mempertahankan kepercayaan publik sekaligus berperan sebagai penjaga demokrasi dan peradaban.