Oleh: Riga Fasya Dwi Jamaludin, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Perkembangan teknologi digital yang pesat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memudahkan akses informasi kapan pun dan di mana pun. Namun di sisi lain, teknologi juga mempercepat penyebaran berita bohong atau hoaks yang menyesatkan publik. Hoaks sendiri merupakan informasi palsu yang dikemas seolah-olah fakta, dengan tujuan memanipulasi opini masyarakat. Dampaknya bisa berbahaya, mulai dari memicu konflik sosial, politik, hingga mengancam keselamatan publik.
Di Indonesia, masalah hoaks bukan lagi hal baru. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) pernah menyebutkan ada lebih dari 800 ribu situs web yang menjadi sumber penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Laporan Kominfo juga mencatat, sepanjang tahun 2020 terdapat 3.464 konten hoaks yang berhasil diidentifikasi. Tren tersebut terus berlanjut hingga 2023 dengan 1.615 konten hoaks berhasil ditangani — meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Ancaman Nyata Hoaks di Indonesia
Meskipun indeks literasi digital Indonesia pada 2024 mencapai skor 3,65 dari skala 5 (kategori tinggi), masyarakat masih sangat rentan terhadap jebakan informasi palsu. Kesadaran publik untuk memverifikasi kebenaran informasi masih jauh dari ideal.
Dalam acara Jurnalistik Expo Day 2025 di Auditorium Perpustakaan Politeknik Negeri Jakarta, Alfons Yoshio Hartanto, pemeriksa fakta dari Tirto.id, mengungkapkan bahwa hanya 21% hingga 36% masyarakat yang mampu mengenali hoaks dengan benar. Menurutnya, “Berita palsu biasanya dibuat sensasional dan emosional, sehingga banyak orang membagikannya tanpa sempat melakukan verifikasi.”
Salah satu contoh dampak fatal hoaks adalah misinformasi terkait Covid-19, yang menurut laporan global menyebabkan lebih dari 800 kematian di seluruh dunia akibat masyarakat mengikuti informasi palsu dan mengabaikan protokol kesehatan.
Evolusi Hoaks: Dari Teks ke Deepfake AI
Jika dulu hoaks hanya berbentuk teks atau gambar editan sederhana, kini bentuknya semakin canggih berkat dukungan multimedia dan kecerdasan buatan (AI). Pada Pemilu 2024, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat 2.330 hoaks sepanjang 2023, di mana 55,5% di antaranya berkaitan dengan isu politik. Platform YouTube menjadi sumber terbesar, dengan 44,66% hoaks berasal dari video.
Video deepfake menjadi ancaman baru: rekaman palsu yang sangat realistis meniru wajah atau suara tokoh publik. Nuril Hidayah, Ketua Komite Litbang Mafindo, menegaskan, “Membedakan konten hoaks berbasis AI sangat sulit. Kita memerlukan alat deteksi yang lebih canggih untuk menghasilkan analisis yang akurat.”
Jurnalis dan Teknologi: Pertahanan Informasi di Era Digital
Dalam menghadapi gelombang hoaks yang semakin kompleks, kolaborasi antara jurnalis dan teknologi menjadi keharusan. Dunia akademik telah mengembangkan model machine learning seperti Random Forest (RF) dan Multinomial Naïve Bayes (MNB) yang terbukti mampu mengklasifikasi berita hoaks berbahasa Indonesia dengan tingkat akurasi mencapai 96%.
“Teknologi bukan ancaman bagi jurnalis, melainkan mitra,” ujar Alfons Yoshio Hartanto di Jurnalistik Expo Day 2025. “Pekerjaan kreatif seperti jurnalisme tak bisa digantikan oleh AI, tapi jika kita tidak beradaptasi, kita akan digantikan oleh mereka yang paham teknologi.”
Jurnalis masa kini dituntut untuk tidak hanya mengandalkan intuisi, tetapi juga menguasai alat verifikasi digital. Kemampuan berpikir kritis dan literasi digital harus menjadi pondasi utama dalam menjaga integritas informasi.
Menuju Literasi Digital yang Fungsional
Ke depan, tantangan utama bukan hanya mendeteksi hoaks, tetapi membangun kesadaran publik agar mampu berpikir kritis sebelum menyebarkan informasi. Hanya sekitar sepertiga masyarakat yang pernah menyebarkan hoaks secara tidak sengaja — angka ini menunjukkan pentingnya edukasi berkelanjutan.
Mewujudkan literasi digital yang fungsional berarti masyarakat tidak sekadar melek teknologi, tetapi juga cakap dalam mengolah dan memverifikasi informasi. Kolaborasi antara jurnalis, akademisi, dan teknologi menjadi kunci untuk membangun benteng informasi yang kuat di tengah derasnya arus digitalisasi.