Kutai Kartanegara – Efek domino pasca pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 mulai menunjukkan dampaknya, khususnya dalam aspek fiskal dan tata kelola pembangunan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Berbagai kalangan, mulai dari aktivis, akademisi, hingga kelompok pemuda, menyuarakan keprihatinan atas kondisi keuangan daerah yang semakin memburuk.
Diketahui, total biaya pelaksanaan Pilkada Kukar 2024 mencapai Rp103,6 miliar. Anggaran tersebut mencakup seluruh tahapan penyelenggaraan, termasuk honorarium penyelenggara di tingkat KPU, Bawaslu, hingga petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS). Beban anggaran Kukar semakin berat dengan digelarnya Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada awal 2025, yang menelan biaya tambahan sebesar Rp62,4 miliar.
Di tengah tekanan tersebut, APBD Kukar tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp12 triliun. Namun, muncul ancaman serius berupa defisit anggaran yang mencapai Rp955 miliar. Kondisi ini mengundang kekhawatiran, terutama karena sejumlah proyek infrastruktur strategis justru mengalami kendala bahkan terhenti di tengah jalan.
Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah pembangunan jembatan penghubung di Kecamatan Sebulu dengan nilai kontrak sekitar Rp203 miliar. Proyek ini mangkrak akibat ketidakmampuan kontraktor dalam menyediakan modal kerja dan tidak lolos audit manajemen internal. Selain itu, pembangunan Gedung Inspektorat Kabupaten Kukar senilai Rp19,4 miliar juga terhenti sementara karena temuan signifikan dari pengawas internal.
Menanggapi situasi ini, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kutai Kartanegara, David Riyanto, menyebut bahwa krisis keuangan ini sudah dapat diprediksi sejak awal, terutama mengingat tingginya tensi politik dan pembengkakan anggaran pasca PSU.
“Sejak awal kami sudah memprediksi bahwa Kukar akan menghadapi kondisi keuangan yang suram pasca Pilkada dan PSU. Biaya politik yang begitu besar tentu membawa dampak jangka menengah terhadap fiskal daerah,” ujar David, Rabu (30/7/2025).
Ia juga menyoroti belum terealisasinya program-program yang dijanjikan saat kampanye, seperti seragam sekolah gratis.
“Program populis seperti seragam sekolah gratis yang dijanjikan saat PSU pun belum bisa direalisasikan. Ini menjadi bukti bahwa penyusunan visi-misi tidak dibarengi dengan perencanaan keuangan yang realistis,” tambahnya.
Dari kalangan akademisi, Dr. Ahmad Fauzan, M.Si., dosen ekonomi pembangunan di Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), menilai bahwa mangkraknya proyek pembangunan mencerminkan lemahnya manajemen proyek dan sistem pengadaan pemerintah daerah.
“Proyek mangkrak seperti jembatan Sebulu adalah cerminan lemahnya manajemen proyek dan sistem lelang yang tidak selektif. Pemkab Kukar harus mengevaluasi total sistem pengadaan agar tidak menjadi beban fiskal jangka panjang,” jelas Fauzan.
HMI Kukar mendesak Pemkab dan DPRD Kukar untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proyek-proyek strategis yang bermasalah, serta membuka hasilnya kepada publik sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas.
“Kami mendesak Bupati dan DPRD Kukar untuk menggelar audit terbuka terhadap proyek-proyek besar yang bermasalah. Jangan sampai APBD habis untuk menutup lubang dari perencanaan yang lemah dan lemahnya pengawasan,” tegas David.
Situasi ini menjadi pelajaran penting bahwa tata kelola pemerintahan dan pembangunan harus ditopang dengan perencanaan fiskal yang matang serta kontrol publik yang kuat.