Samarinda – Suara jeritan warga korban longsor di Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, terus menggema. Puluhan rumah warga rusak akibat tanah bergerak di sekitar Jalan Poros Samarinda–Balikpapan Km 28. Kini, mereka menuntut kepastian dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim).
Wati (43), salah satu warga terdampak, mengungkapkan bahwa dirinya bersama empat anaknya kini tinggal di tenda darurat. Rumahnya nyaris roboh akibat pergeseran tanah yang terjadi sejak awal tahun.
“Awalnya itu Januari. Lantai dapur saya mulai retak. Kami pikir cuma biasa. Tapi makin parah. Sampai akhirnya 24 April, jalan poros itu amblas, tanah bergerak, rumah-rumah mulai roboh,” ujarnya saat mengikuti aksi damai di depan Kantor Gubernur Kaltim, Senin (02/06/2025).
Berdasarkan catatan warga, sedikitnya 21 rumah terdampak langsung. Sepuluh rumah di antaranya roboh total, sementara sebelas lainnya mengalami rusak berat. Bahkan satu masjid turut terkena dampak.
“Rumah saya bagian dapurnya rusak. Depannya masih bisa ditempati, tapi kami enggak berani tinggal di situ lagi. Soalnya rumah tetangga saja sudah rata tanah,” imbuh Wati.
Sebagian besar korban kini bertahan di posko darurat atau mengungsi ke rumah keluarga. Namun, kebutuhan akan hunian tetap menjadi perhatian utama mereka.
“Kami meminta pemerintah membebaskan lahan baru untuk hunian. Karena kalau dipindah ke tanah pinjam pakai, suatu saat bisa saja diminta kembali. Tidak ada jaminan. Sedangkan tanah kami sendiri itu punya sertifikat,” tegasnya.
Di sisi lain, warga juga mencurigai adanya keterkaitan antara bencana ini dengan aktivitas pertambangan batu bara di sekitar lokasi. Mereka meminta pemerintah tidak menutup mata terhadap kondisi tersebut.
Roni Hidayatullah, perwakilan pemuda Desa Batuah, menjelaskan bahwa bencana longsor ini terjadi secara bertahap dalam tiga fase, sejak Januari hingga Mei 2025.
“Masyarakat Batuah sudah tinggal di sana sejak 1978. Tapi sejak aktivitas tambang masuk sekitar 2017, kami mulai resah. Banyak perubahan terjadi, khususnya di struktur tanah,” jelas Roni.
Ia menambahkan, warga sempat mengalami tekanan agar tidak mengaitkan bencana ini dengan aktivitas pertambangan.
“Ada yang mulai berupaya intervensi, menyarankan supaya kami jangan sebut-sebut tambang sebagai penyebab. Tapi masyarakat sudah lihat sendiri,” tambahnya.
Kini, warga berharap pemerintah tidak hanya memberi bantuan darurat, tetapi juga solusi jangka panjang berupa pemukiman yang aman dan legal. Mereka menuntut kejelasan, bukan janji.