Kutai Kartanegara -Sengketa lahan kembali mencuat di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kali ini, kasus menimpa seorang warga Desa Margahayu, Kecamatan Loa Kulu, Johny Christian, yang dituntut 2 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Persoalan hukum yang menyeret Johny dianggap sebagai potret kaburnya batas kepemilikan lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU).
Dalam surat tuntutan Nomor PDM-12/TNGGA/02/2025, JPU menilai Johny terbukti menduduki lahan perkebunan milik PT Budi Duta Agro Makmur. Tuntutan itu didasarkan pada Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mengatur larangan bagi pihak manapun untuk menguasai, menggarap, atau memanfaatkan lahan perkebunan tanpa izin.
“Berdasarkan fakta yang ada, terdakwa bersama kelompoknya telah membuka lahan secara ilegal di atas HGU perusahaan. Aktivitas menanam pisang, sayuran, hingga mendirikan pondok jelas mengganggu proses land clearing yang dilakukan perusahaan,” ujar JPU dalam sidang pembacaan tuntutan, dilansir dari Kaltimtoday.co Kamis (28/8/2025).
Namun, langkah jaksa tersebut langsung menuai perdebatan. Pengacara Johny, Paulinus Dugis, menegaskan bahwa tuntutan yang diajukan JPU tidak berangkat dari fakta persidangan, melainkan hanya mengutip Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian.
“Jaksa seharusnya berangkat dari alat bukti di persidangan, bukan sekadar mengulang isi BAP. Fakta di lapangan jelas menunjukkan lahan itu bukan milik PT Budi Duta Agro Makmur. Ada dokumen resmi dari Dinas Transmigrasi Kukar yang menetapkan area tersebut sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL), bukan HGU perusahaan,” tegas Paulinus usai sidang.
Ia menilai perkara ini bukan hanya soal pidana, tetapi juga menyangkut kepastian hukum bagi warga transmigran yang sejak lama tinggal dan menggarap lahan di kawasan tersebut.
“Kalau masyarakat sudah ditetapkan mendapat HPL, lalu tiba-tiba perusahaan masuk dengan klaim HGU, siapa yang sebenarnya melindungi hak warga?” tambahnya.
Di sisi lain, PT Budi Duta Agro Makmur tetap bersikukuh bahwa lahan tersebut sah berada di dalam wilayah HGU mereka.
Pihak perusahaan menilai kehadiran kelompok tani yang dipimpin Johny telah menghambat proses investasi dan kegiatan usaha yang sedang mereka jalankan.
“Perusahaan punya kewajiban untuk memanfaatkan HGU sesuai peruntukan. Ketika ada pihak luar yang masuk tanpa izin, tentu saja itu mengganggu kegiatan kami. Kami tidak ingin ada konflik, tapi aturan hukum harus ditegakkan,” ujar seorang perwakilan perusahaan yang enggan disebut namanya.
Persoalan ini semakin rumit karena lembaga pemerintah daerah sendiri memberi keterangan yang berbeda. Dokumen dari Dinas Transmigrasi Kukar menyebutkan lahan yang disengketakan berada dalam kawasan HPL transmigrasi.
“Kami sudah keluarkan peta penetapan sejak beberapa tahun lalu. Status lahan itu jelas bukan HGU, melainkan HPL transmigrasi,” ungkap seorang pejabat dinas yang dimintai keterangan.
Situasi ini membuat masyarakat di sekitar Desa Margahyu ikut resah. Beberapa warga menilai kasus Johny bisa menjadi preseden buruk.
“Kalau warga kecil yang sudah puluhan tahun berkebun bisa dipidana, berarti nasib kami juga terancam. Padahal, lahan ini dari dulu jadi sumber penghidupan kami,” kata Tini, salah seorang warga.
Aktivis agraria di Kukar juga angkat bicara. Mereka menilai kasus Johny adalah gambaran konflik agraria yang terus berulang di Kalimantan Timur, di mana izin perusahaan kerap tumpang tindih dengan hak masyarakat lokal. “Ini soal ketidakjelasan tata ruang dan lemahnya perlindungan hukum bagi petani kecil. Negara seharusnya hadir untuk memastikan keadilan, bukan justru mengkriminalisasi warga,” ujar aktivis yang tergabung dalam Forum Rakyat Kukar.
Sidang berikutnya dijadwalkan pekan depan dengan agenda pembelaan dari penasihat hukum Johny. Meski demikian, kasus ini sudah menjadi sorotan luas karena dianggap mencerminkan persoalan struktural dalam pengelolaan tanah di Kukar.
“Yang dipertaruhkan bukan hanya kebebasan Johny, tetapi juga kepastian hukum bagi ribuan keluarga transmigran yang tinggal di kawasan serupa,” tutup Paulinus.
Kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya kepastian hukum agraria di daerah. Di satu sisi, perusahaan bersandar pada legalitas HGU, sementara di sisi lain masyarakat mengacu pada HPL yang ditetapkan pemerintah daerah. Ketegangan di Desa Margahyu bisa menjadi awal dari konflik yang lebih besar jika negara tidak segera mengambil langkah tegas untuk memperjelas status lahan.