Kutai Barat – Warga Kampung Dilang Puti, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), melayangkan protes keras terhadap aktivitas penggusuran ladang yang dilakukan oleh perusahaan sawit PT Borneo Citra Persada Mandiri (BCPM).
Salah satu warga, Lin Mardaleni, mengungkapkan bahwa lahan ladang milik keluarganya yang telah dikelola secara turun-temurun sejak era 1980-an, digusur tanpa adanya pemberitahuan maupun kesepakatan dengan warga.
Ladang yang terletak di antara Sungai Tuken dan Sungai Semulen Tiong itu, menurut Lin, bukanlah lahan kosong, melainkan areal produktif yang selama ini menjadi sumber pangan dan penghidupan bagi keluarganya.
“Waktu itu saya masih kecil, kami ikut orangtua buka ladang di situ. Sekarang adik saya masih tanam padi dan sayur di sana,” ujar Lin saat diwawancarai NomorSatuKaltim, Senin (2/6/2025).
Ia menceritakan bahwa pada sekitar tanggal 9 atau 10 Mei lalu, ia mendapati alat berat milik PT BCPM mulai membuka lahan yang dimaksud. Lin pun langsung mendatangi lokasi dan meminta aktivitas dihentikan. Namun, keesokan harinya, kegiatan penggusuran kembali berlanjut.
“Mereka bilang cuma jalankan tugas. Saya minta stop karena ini ladang kami. Tapi mereka kerja lagi seperti tidak terjadi apa-apa,” katanya.
Lin lantas melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Bentian Besar. Meski sempat dimediasi, namun hasilnya nihil. Aktivitas alat berat tetap berlanjut, bahkan setelah warga menyatakan keberatan.
“Sudah dimediasi pun, mereka tetap kerja. Padahal itu ladang, bukan tanah kosong seperti yang mereka klaim,” tegasnya.
Pada 12 Mei, Lin mengirim surat resmi ke pihak perusahaan yang menegaskan klaim kepemilikan lahan oleh keluarganya. Namun, surat tersebut tidak mendapat tanggapan substantif dari PT BCPM. Aktivitas penggusuran tetap berjalan.
“Saya kembali ke Polsek, minta mereka turun ke lapangan. Polisi ke kantor PT BCPM, tapi yang mereka temui hanya staf biasa, tidak bisa ambil keputusan,” tutur Lin.
Karena tidak ada hasil di tingkat polsek, Lin meminta agar laporan dilimpahkan ke Polres Kutai Barat. Berkas laporan resmi pun dikirim pada 19 Mei. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tindak lanjut yang jelas dari pihak kepolisian.
“Sudah dua minggu lebih berkas ada di Polres. Tapi sampai sekarang tidak ada informasi apa pun. Sementara perusahaan tetap saja kerja di lahan kami,” keluh Lin.
Selama proses hukum berjalan, Lin dan keluarganya terus mendatangi lokasi dan meminta para pekerja menghentikan aktivitas. Namun, respons yang diterima selalu sama—para pekerja mengaku hanya menjalankan perintah atasan.
“Mereka bilang, ‘kami cuma pekerja, hanya ikut perintah.’ Tapi kami capek menegur terus. Kami sudah ikut jalur hukum, tapi seolah-olah suara kami tidak penting,” ucapnya dengan nada kecewa.
Lin juga menegaskan bahwa keluarganya tidak pernah menjual atau menyerahkan lahan tersebut kepada pihak manapun. Ia menilai PT BCPM telah mengabaikan hak-hak masyarakat serta tidak menghormati etika sosial dalam menjalankan usahanya.
“Itu bukan tanah kosong. Itu ladang yang kami rawat dan tanami puluhan tahun. Mereka datang tiba-tiba dengan alat berat, terus bilang itu hak mereka. Dasarnya apa?” ujarnya.
Ia berharap pihak kepolisian segera turun tangan untuk menghentikan konflik dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat adat.
“Kalau semua tanah harus diserahkan ke perusahaan, lalu buat apa kami punya kampung? Buat apa kami punya tanah adat?” tegas Lin.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT BCPM belum memberikan tanggapan resmi atas laporan dan keberatan warga Kampung Dilang Puti.