Kutai Barat – Aktivitas tambang ilegal di Kutai Barat kian mengkhawatirkan. Aliansi Penyelamat Hutan Kutai Barat (APHKB) mencatat, setidaknya terdapat enam titik yang menjadi lokasi aktivitas tambang ilegal yang merusak lingkungan. Lokasi tersebut tersebar di enam kecamatan berbeda, antara lain:
1. Kampung Jerang Dayak (Peninggir), Kecamatan Muara Pahu
2. Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa
3. Kampung Intu Lingau, Kecamatan Nyuatan
4. Kampung Sungai Kelian (wilayah Kampung Tutung), Kecamatan Linggang Bigung
5. Kampung Kelian Dalam, Kecamatan Tering
6. Kampung Kelian Luar, Kecamatan Long Iram
Sekretaris Jenderal APHKB, Alsiyus, menegaskan bahwa dampak dari aktivitas tambang ilegal ini sangat merusak. Tidak hanya menghancurkan kawasan hutan, tapi juga mencemari sumber air bersih, merusak lahan pertanian, hingga mengancam situs budaya masyarakat adat di sekitar lokasi tambang.
Mereka khawatir dampak ini akan menimbulkan krisis lingkungan yang lebih parah di masa depan jika tidak segera dihentikan. Alsiyus pun membenarkan bahwa pihasknya akan mengadakan aksi demi menyuarakan hal ini.
Sebagai bentuk protes, APHKB menyatakan akan menggelar aksi massa untuk mendesak penutupan tambang-tambang ilegal tersebut. Mereka juga secara tegas menuntut tindakan cepat dari pihak kepolisian, Dinas Pertambangan, Dinas Lingkungan Hidup, dan seluruh instansi terkait.
“Kami menuntut Polres Kutai Barat, Dinas Pertambangan, DLH, dan instansi lainnya untuk segera menutup semua aktivitas tambang ilegal di wilayah kami. Ini bukan sekadar permintaan, ini adalah seruan darurat untuk menyelamatkan lingkungan dan masyarakat,” tegas Alsiyus dalam pernyataannya.
Tak hanya eksekutif dan penegak hukum, APHKB juga mendesak DPRD Kutai Barat segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan melibatkan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
“Kami ingin DPRD tidak hanya diam. Segera lakukan RDP, panggil pihak-pihak yang terlibat, dan pastikan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Jangan ada perlindungan terhadap pelaku tambang ilegal,” tambahnya.
Ia juga menyinggung lemahnya penegakan hukum atas kasus tambang ilegal yang hingga kini belum menunjukkan hasil nyata. Salah satu kasus bahkan telah menetapkan dua tersangka, namun belum dibawa ke pengadilan.
Lebih jauh, APHKB menyebut bahwa dampak lingkungan di Kutai Barat sudah memasuki fase kritis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kalimantan Timur, banjir besar bisa terjadi hingga tiga kali dalam sebulan di wilayah Kutai Barat.
“Banjir makin sering, sungai berubah warna, lahan pertanian rusak, dan panen gagal. Semua ini karena tambang-tambang ilegal yang menggunduli hutan dan mencemari sungai. Kalau ini terus dibiarkan, bencana ekologis yang lebih besar tinggal menunggu waktu,” tutup Alsiyus.
APHKB menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk keselamatan lingkungan hari ini, tetapi juga demi masa depan generasi mendatang. Mereka mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang ilegal di Kutai Barat.