Samarinda –Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda menjatuhkan sanksi kepada salah satu dosennya yang terbukti melanggar kode etik.
Kasus ini bermula dari laporan seorang mahasiswi yang mengaku menerima pesan WhatsApp dengan nada tidak pantas dari dosen tersebut.
Bahkan, oknum itu juga sempat mengajak korban ke ruangannya tanpa alasan jelas.
Hasil pemeriksaan internal kampus menetapkan dosen bersangkutan melanggar norma etik sebagai tenaga pendidik. Rektor UWGM kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 067/UWGM-KP/VII/2025 yang berisi sanksi bagi pelaku.
Dalam SK tersebut, terdapat tiga bentuk sanksi yang dijatuhkan. Pertama, dosen tersebut diskors selama enam bulan atau setara dengan satu semester penuh. Kedua, ia diwajibkan membuat surat permintaan maaf atas tindakannya.
Ketiga, catatan pelanggaran ini akan masuk dalam rekam jejak kepegawaiannya, sehingga akan memengaruhi karier akademiknya di kemudian hari.
Meski telah dijatuhi hukuman, keputusan kampus justru menimbulkan reaksi beragam. Publik mempertanyakan apakah skorsing dan permintaan maaf sudah cukup untuk memberikan efek jera, terlebih kasus ini berkaitan dengan pelecehan di lingkungan pendidikan.
Banyak pihak menilai bahwa kampus seharusnya menunjukkan ketegasan yang lebih nyata. Universitas adalah ruang belajar yang semestinya aman, terutama bagi mahasiswa. Pelecehan, baik verbal maupun nonverbal, menimbulkan trauma yang tidak sederhana.
Karena itu, hukuman yang terkesan ringan dikhawatirkan tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan korban.
Isu ini juga menimbulkan pertanyaan lebih jauh: apakah keputusan tersebut benar-benar mencerminkan keberpihakan kampus kepada korban, ataukah lebih diarahkan untuk menjaga nama baik institusi.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak 2021 telah menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Regulasi ini mengamanatkan agar setiap kampus membentuk satuan tugas khusus dan menerapkan mekanisme perlindungan maksimal bagi korban kekerasan seksual.
Dalam aturan tersebut, kampus wajib memberikan ruang aman, memastikan tidak ada intimidasi terhadap pelapor, serta menjatuhkan sanksi yang setimpal terhadap pelaku.
Sanksi yang diatur bisa berjenjang, mulai dari peringatan tertulis, pembebasan sementara dari tugas, penurunan jabatan akademik, hingga pemberhentian tetap.
Jika merujuk pada regulasi ini, publik menilai keputusan UWGM Samarinda masih berada di spektrum hukuman ringan.
Pemberian sanksi administratif berupa skorsing sementara tentu sah secara aturan, tetapi apakah cukup untuk membangun kepercayaan mahasiswa bahwa kampus serius melindungi mereka?
Fenomena serupa sebelumnya juga terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Beberapa kampus memilih memberikan sanksi tegas, bahkan memberhentikan permanen dosen yang terbukti melakukan pelecehan.
Ada pula kampus yang justru dikritik karena dianggap “melembek” dengan menjatuhkan hukuman administratif ringan.
Perbandingan ini semakin menyoroti keputusan UWGM. Dengan hanya menjatuhkan skorsing satu semester dan permintaan maaf, kampus dikhawatirkan mengirimkan sinyal yang lemah dalam upaya pemberantasan pelecehan seksual di dunia akademik.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi UWGM Samarinda. Kampus harus membuktikan komitmen bukan hanya dalam menegakkan disiplin, tetapi juga dalam membangun lingkungan yang benar-benar aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Pertanyaan penting yang kini muncul: apakah UWGM lebih berpihak pada perlindungan mahasiswa dan keberanian menciptakan ruang akademik yang sehat, atau justru terjebak dalam upaya menjaga nama baik institusi semata?
Bagi masyarakat luas, isu ini bukan sekadar tentang satu dosen dan satu korban. Lebih dari itu, kasus ini adalah cerminan bagaimana sebuah perguruan tinggi memandang tanggung jawab moralnya.
Keberanian kampus dalam mengambil langkah tegas akan menentukan kepercayaan publik terhadap integritas lembaga pendidikan tinggi.
Di tengah semakin kuatnya dorongan publik untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual di dunia pendidikan, keputusan UWGM Samarinda akan terus menjadi sorotan.
Apakah langkah ini menjadi awal dari perbaikan sistem perlindungan mahasiswa, atau justru menambah daftar panjang kasus pelecehan yang diselesaikan dengan sanksi minimal?