Jakarta -Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu poin krusial dari revisi ini adalah larangan bagi menteri dan wakil menteri (wamen) untuk merangkap jabatan di struktur BUMN, termasuk sebagai direksi, komisaris, atau dewan pengawas.
Namun, ada catatan penting yang membuat kebijakan ini tidak berlaku secara mutlak. Pejabat eselon I kementerian tetap diperbolehkan menempati posisi pengawasan di BUMN, karena wakil pemerintah diperlukan untuk memastikan pengawasan tetap berjalan. Selain itu, menteri dan wamen yang saat ini masih merangkap jabatan diberi waktu transisi maksimal dua tahun untuk menyesuaikan diri, terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan rangkap jabatan.
Larangan rangkap jabatan ini merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 128-PUU-XXIII-2025, yang menilai rangkap jabatan pejabat negara berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dengan adanya aturan ini, diharapkan BUMN dapat dikelola lebih profesional dan independen, fokus pada misi bisnis dan kontribusi terhadap perekonomian nasional, tanpa intervensi politik yang berlebihan.
12 Poin Perubahan Revisi UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025:
1. Pengaturan Lembaga Penyelenggara Tugas Pemerintahan di BUMN
Dibentuk Badan Pengatur BUMN (BP BUMN) sebagai lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang BUMN. BP BUMN bertugas mengatur, mengawasi, dan mengoptimalkan peran BUMN sesuai kepentingan nasional.
2. Penegasan Kepemilikan Saham Seri A Dwi Warna
Negara memiliki kepemilikan saham seri A Dwi Warna sebesar 1 persen pada Badan BP BUMN, untuk menjaga kontrol dan kepentingan strategis pemerintah.
3. Penataan Komposisi Saham pada Holding
Komposisi saham diatur secara jelas pada perusahaan induk Holding Investasi dan Holding Operasional yang berada di bawah Badan Pengelola Investasi Danantara, guna memastikan transparansi dan kontrol pemerintah.
4. Larangan Rangkap Jabatan Menteri dan Wamen
Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan di BUMN, termasuk sebagai direksi, komisaris, atau dewan pengawas. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dan berlaku maksimal dua tahun bagi pejabat yang masih merangkap.
5. Penghapusan Anggota Non-Penyelenggara Negara
Anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas yang bukan penyelenggara negara dihapuskan dari aturan sebelumnya, sehingga struktur pimpinan lebih jelas dan profesional.
6. Penataan Dewan Komisaris Holding
Dewan komisaris pada Holding Investasi dan Holding Operasional wajib diisi oleh profesional yang memiliki kompetensi, bukan pejabat negara, untuk memperkuat independensi dan tata kelola.
7. Penguatan Kewenangan Pemeriksaan Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diberikan kewenangan untuk memeriksa keuangan BUMN, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana perusahaan milik negara.
8. Optimalisasi Peran BP BUMN
BP BUMN diberikan kewenangan tambahan untuk mengoptimalkan peran BUMN dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional dan kebijakan strategis pemerintah.
9. Kesetaraan Gender
Penegasan kesetaraan gender diterapkan pada karyawan BUMN yang menduduki jabatan direksi, komisaris, dan manajerial, mendukung inklusivitas dalam pengelolaan perusahaan.
10. Perlakuan Perpajakan
Aturan mengenai perpajakan atas transaksi yang melibatkan BUMN, Holding Operasional, Holding Investasi, atau pihak ketiga diatur secara lebih jelas melalui peraturan pemerintah.
11. Pengecualian Penguasaan BP BUMN
Beberapa BUMN yang ditetapkan sebagai alat fiskal memiliki pengecualian terhadap penguasaan BP BUMN, agar fleksibilitas fiskal tetap terjaga.
12. Mekanisme Peralihan Status Kepegawaian
Pengaturan mekanisme peralihan status kepegawaian dari Kementerian BUMN ke BP BUMN dilakukan untuk memastikan kelancaran transisi, termasuk pengaturan substansi terkait hak, kewajiban, dan jabatan karyawan.
Salah satu perubahan signifikan adalah penataan dewan komisaris dan direksi agar diisi oleh profesional yang kompeten, bukan pejabat negara. Langkah ini diharapkan meningkatkan independensi, transparansi, dan akuntabilitas BUMN. Selain itu, kewenangan pemeriksaan keuangan BUMN oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperkuat untuk menjamin pengelolaan dana publik yang lebih terbuka.
UU baru juga menekankan kesetaraan gender dalam pengisian jabatan direksi, komisaris, dan manajerial BUMN. Aturan perpajakan atas transaksi yang melibatkan BUMN, holding, atau pihak ketiga juga diatur lebih jelas melalui peraturan pemerintah. Mekanisme peralihan status kepegawaian dari Kementerian BUMN ke BP BUMN turut diatur untuk memastikan kelancaran transisi dan kesinambungan operasional.
Dari sisi pemerintah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menegaskan bahwa menteri dan wamen yang masih rangkap jabatan memiliki waktu maksimal dua tahun untuk menyesuaikan diri. Hal ini diharapkan tidak mengganggu jalannya BUMN dan memberi waktu bagi pejabat terkait untuk menyelesaikan tugas mereka dengan tertib.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM menekankan bahwa larangan rangkap jabatan tidak berlaku bagi pejabat eselon I. Hal ini penting agar wakil pemerintah tetap dapat menjalankan fungsi pengawasan di BUMN, menjaga keseimbangan antara independensi perusahaan dan kontrol pemerintah.
Revisi UU BUMN ini menandai perubahan penting dalam tata kelola perusahaan milik negara. Dengan menekankan profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi, diharapkan BUMN tidak hanya berfungsi sebagai penyumbang dividen negara, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi, inovasi, dan lapangan kerja.
Selain itu, penguatan BP BUMN, penataan kepemilikan saham, dan mekanisme pengawasan yang lebih jelas juga diharapkan menutup celah konflik kepentingan, meningkatkan efisiensi, dan memastikan BUMN lebih fokus menjalankan misi strategisnya. Dengan demikian, reformasi BUMN ini tidak hanya penting untuk kinerja perusahaan, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pengelolaan aset negara.
Dengan diterapkannya revisi UU BUMN, DPR dan pemerintah berharap perusahaan milik negara dapat lebih profesional, independen, dan mampu mendukung pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan, sambil tetap menjaga peran pemerintah sebagai pengawas strategis.