Penulis: Filza Hayuning Wafa, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Dalam hidup yang penuh tekanan, kita sering lebih akrab dengan emosi negatif: stres karena tugas menumpuk, cemas menghadapi masa depan, hingga rasa takut gagal yang muncul tanpa diundang. Emosi-emosi ini wajar, manusiawi. Tapi terlalu lama hidup di dalamnya bisa mengaburkan satu hal penting: bahwa kita juga punya kemampuan untuk merasa baik, dan bahwa perasaan baik itu punya kekuatan besar.
Barbara Fredrickson, seorang psikolog dari University of North Carolina, memperkenalkan teori Broaden and Build pada awal 2000-an. Teori ini menjelaskan bagaimana emosi positif seperti bahagia, syukur, tenang, dan cinta dapat memperluas cara kita berpikir dan bertindak, serta membangun sumber daya psikologis dan sosial yang bertahan lama.
Sederhananya, emosi negatif seperti marah atau takut membuat kita “menyempit” pikiran kita fokus pada satu hal: ancaman atau bahaya. Ini berguna dalam situasi bertahan hidup. Tapi emosi positif melakukan sebaliknya. Ia “memperluas” perspektif, membuka pikiran terhadap ide baru, membuat kita lebih kreatif, lebih terbuka terhadap orang lain, dan lebih fleksibel dalam mengambil keputusan.
Bayangkan ini: saat kamu merasa damai dan bersyukur, kamu cenderung lebih mudah memaafkan, lebih ringan membantu orang lain, dan lebih semangat mencoba hal baru. Efek ini mungkin tidak langsung terasa seperti secangkir kopi, tapi efek jangka panjangnya membentuk ketahanan mental. Inilah inti dari teori Broaden and Build.
Teori ini dikembangkan oleh psikolog Barbara Fredrickson dari University of North Carolina. Dalam penelitiannya, Fredrickson menunjukkan bahwa emosi positif seperti rasa syukur, bahagia, harapan, dan cinta tidak hanya membuat kita merasa lebih baik dalam jangka pendek. Emosi-emosi ini memperluas (broaden) cara berpikir kita dan membangun (build) berbagai sumber daya psikologis, sosial, bahkan fisik yang penting untuk jangka panjang.
Melampaui Sekadar Bahagia
Emosi positif tidak sekadar hadir untuk membuat hari kita lebih cerah. Dalam teori Broaden and Build, perasaan-perasaan ini memicu kreativitas, memperbaiki relasi, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dan memperkuat ketahanan mental. Ketika kita merasa tenang atau bersyukur, otak menjadi lebih terbuka pada informasi baru, lebih mudah belajar, dan lebih siap membangun koneksi sosial yang bermakna.
Contoh sederhana: mahasiswa yang mampu melihat ujian bukan sebagai ancaman, melainkan tantangan yang bisa diatasi, cenderung memiliki hasil akademik dan kesehatan mental yang lebih baik. Bukan karena mereka tidak takut, tapi karena mereka punya kemampuan merefleksikan dan menanggapi rasa takut itu dengan cara yang lebih sehat.
Dampak Nyata dalam Hidup Sehari-hari
Sebuah studi di Journal of Personality and Social Psychology (Fredrickson et al., 2008) menunjukkan bahwa individu yang mengalami emosi positif secara rutin memiliki tingkat stres lebih rendah, sistem imun yang lebih kuat, dan bahkan risiko penyakit jantung yang lebih kecil.
Tak hanya itu, emosi positif juga membuat seseorang lebih gigih dalam mencapai tujuan. Ini penting dalam dunia kerja dan pendidikan. Mahasiswa atau pekerja yang memiliki resilience tinggi, ketahanan dalam menghadapi tekanan biasanya lebih mampu bangkit dari kegagalan karena mereka punya cadangan emosi positif yang mendukung mereka.
Dalam konteks mahasiswa, emosi positif menjadi sangat relevan. Tuntutan akademik, persaingan kerja, ketidakpastian masa depan—semua ini menciptakan tekanan yang tidak sedikit. Di tengah situasi ini, banyak mahasiswa yang merasa harus “selalu kuat”, tanpa ruang untuk merasa rapuh. Tapi justru, kemampuan untuk mengalami dan mengelola emosi positif bisa menjadi kunci bertahan di masa transisi ini.
Misalnya, ketika skripsi tak kunjung selesai, atau saat gagal dalam seleksi kerja, orang yang terbiasa membangun pola pikir positif cenderung tidak langsung menyerah. Mereka bisa berkata pada diri sendiri: “Ini bukan akhir. Aku masih punya peluang lain.” Kalimat sederhana ini, menurut teori Fredrickson, membuka ruang bagi ide baru dan ketahanan jangka panjang.
Menjadi Kuat dengan Cara yang Lembut
Dalam budaya kita, kekuatan sering diukur dari ketegasan dan ketangguhan. Namun, Broaden and Build justru mengajak kita melihat bahwa kekuatan bisa dibangun dari sikap yang lembut: bersyukur, berbelas kasih, dan mampu menemukan cahaya kecil di tengah gelap.
Berpikir positif bukan soal menyangkal kenyataan. Ini soal bagaimana kita meresponsnya. Ketika kita memilih untuk berharap, bersyukur, atau mencintai—kita sedang membangun pondasi hidup yang lebih tahan banting. Di akhir hari yang berat, mungkin bukan nasihat rumit yang kita butuhkan. Tapi kesadaran bahwa emosi positif, sekecil apa pun, punya kekuatan untuk mengubah arah hidup kita.
Kita tidak bisa mengatur semua yang terjadi dalam hidup. Tapi kita bisa mengatur bagaimana kita meresponsnya. Teori Broaden and Build mengajak kita untuk merawat emosi positif bukan demi terlihat kuat, tapi supaya kita betul-betul menjadi kuat dari dalam.
Optimisme bukan ilusi, tapi modal bertahan. Dan dalam dunia yang sering mengajak kita untuk takut, berpikir positif adalah tindakan yang paling berani.