Oleh: Daffa Aulia Ahmad, Politeknik Negeri Jakarta
Sewaktu kasus DJ Panda dan Erika Carlina mencuat, DJ Ohim sempat hadir sebagai kambing hitam baru. Beberapa oknum media menyebutkan keterlibatan DJ Ohim dalam kasus perselingkuhan tersebut. Sosok ini pun sontak menjadi perbincangan di dunia maya Indonesia.
Banyak media mengangkat isu tersebut, bahkan sebagian mencoba mengklarifikasi dengan narasi “praduga” tanpa secara langsung menyatakan keterlibatan DJ Ohim. Namun, sejumlah media justru menggunakan cara klikbait, terutama di platform YouTube dan TikTok. Salah satunya melalui unggahan akun TikTok @tryan_setiawan39, yang menyebut Erika Carlina mengaku bahwa ayah biologis bayinya adalah DJ Ohim, bukan DJ Panda. Judul-judul sensasional seperti “DJ Ohim Akui Ayah Biologis Anak Erika” pun bermunculan, memicu arus misinformasi.
Padahal, DJ Ohim hanyalah karakter parodi lahir dari konten fabrikasi dan manipulasi digital di Grup Timpa Teks: Singularity, sebuah komunitas meme dengan ratusan ribu anggota di Facebook. Grup ini secara jelas menegaskan bahwa konten mereka adalah bentuk parodi, bukan hoaks. Ironisnya, kreativitas netizen ini disalahartikan hingga menjadi boomerang ketika diadopsi sebagai referensi pemberitaan media.
Kasus ini memperlihatkan rapuhnya praktik verifikasi dalam jurnalisme digital Indonesia. Kebenaran sering kabur ketika media terburu-buru menyajikan berita tanpa menimbang kredibilitas sumber. Hal ini menjadi tantangan besar bagi jurnalis dalam membedakan mana fakta, mana parodi, dan mana hoaks.
Amalia Rizky Fatonah, Dosen Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta, menilai literasi jurnalistik sangat penting agar masyarakat mampu membedakan informasi yang valid dengan yang menyesatkan. Res Ares, CEO Expectainment, menambahkan bahwa jurnalis seharusnya menulis dengan perspektif yang benar-benar merepresentasikan masyarakat.
Di sisi lain, kemajuan teknologi seperti mesin pencari dan kecerdasan buatan seharusnya memudahkan verifikasi informasi. Namun, Amalia mengingatkan bahwa jurnalis tetap harus mengasah keterampilan kritis, tidak semata mengandalkan teknologi.
Kasus DJ Ohim akhirnya menjadi cerminan katarsis dinamika jurnalisme di Indonesia: bagaimana parodi bisa disalahartikan, dan bagaimana tantangan besar menuntut jurnalis lebih berhati-hati, teliti, dan beretika di tengah derasnya arus informasi digital.