Dunia Memang Berat Tapi Kamu Lebih Kuat dari yang Kamu Kira

Fri, 6 Jun 2025 01:26:57 Dilihat 60 kali Author gerbang nusantara
WhatsApp Image 2025-06-06 at 09.21.56

Penulis: Filza Hayuning Wafa Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

“Harus kuat, ya.”

Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi dampaknya bisa menetap seumur hidup. Kita mendengarnya sejak kecil dari orang tua, guru, bahkan dari masyarakat sekitar. Kalimat itu semakin familiar di telinga ketika kamu adalah anak pertama di keluarga. Sejak usia dini, kamu sudah diminta untuk bisa lebih sabar, lebih bijak, lebih mengalah. Kamu diharapkan jadi panutan, jadi kakak teladan, jadi versi kecil dari orang dewasa.

Belum selesai belajar memahami diri sendiri, kamu sudah harus memahami orang lain. Belum rampung mencari arah hidupmu, kamu diminta menjadi kompas bagi adik-adikmu. Jadilah anak pertama, dan kamu akan tahu rasanya memikul ekspektasi tanpa banyak ruang untuk gagal. Semua orang melihatmu sebagai andalan, tapi jarang yang bertanya apakah kamu baik-baik saja.

Menjadi anak pertama sering kali berarti tumbuh lebih cepat dari waktunya. Ketika orang lain boleh menangis, kamu harus tegas. Ketika orang lain mungkin bingung, kamu harus terlihat tahu arah. Padahal kamu juga anak-anak waktu itu. Kamu juga pernah merasa bingung, takut, dan lelah. Tapi kamu diam. Karena kamu tahu, kalau kamu berhenti, siapa yang akan melanjutkan? Jika kamu runtuh, siapa yang akan menjadi tempat sandaran?

Banyak anak pertama tumbuh dengan rasa tanggung jawab yang besar, tapi juga dengan luka-luka kecil yang tak sempat diberi nama. Luka karena menahan tangis sendiri di malam hari. Luka karena harus terlihat kuat meski dalam hati rapuh. Luka karena belajar mendahulukan orang lain sebelum benar-benar mengenal kebutuhan diri sendiri.

Namun dibalik semua itu, kamu belajar menjadi tangguh. Kamu belajar menjadi pribadi yang mampu menampung, meski terkadang terlalu penuh. Kamu tumbuh menjadi seseorang yang peka, kuat, dan penuh pertimbangan. Tapi ingat, anak pertama tidak berarti kamu harus selalu sempurna. Kamu juga berhak lelah, berhak bersalat, dan berhak istirahat.

Karena yang kuat pun perlu dipeluk. Yang menjadi kompas pun perlu diingatkan arah. Dan kamu, sebagai anak pertama, juga layak dimengerti, bukan hanya diminta mengerti.

Tekanan Yang Tak Terucap

Saat tumbuh besar, ekspektasi itu bukannya hilang malah bertambah. Dari sekedar menjadi contoh bagi adik-adik, kini kamu harus sukses, harus bisa diandalkan, harus menjaga nama baik keluarga. Kamu diminta untuk selalu “tahu caranya”, bahkan ketika kamu sedang mencari pegangan. Kadang-kadang kamu merasa seperti pemeran utama dalam hidup orang lain selalu tampil, selalu tampil kuat tapi justru menjadi figuran dalam hidupmu sendiri. Seolah-olah ruang untuk menjadi dirimu sendiri mengecil, digantikan oleh berbagai peran yang harus kamu mainkan.

Pernah, di dalam hati kecilmu, kamu ingin berteriak: “Aku juga manusia. Aku juga boleh gagal. Aku juga boleh lelah.”
Tapi suara itu tidak pernah benar-benar keluar. Kamu tahan. Kamu telan. Karena kamu takut dianggap lemah. Kamu khawatir mengecewakan mereka yang menggantungkan harapan padamu. Kamu berpikir, “Kalau aku tidak kuat, siapa lagi?” Maka kamu lanjutkan peranmu tanpa naskah, tanpa panggung istirahat.

Dan pada akhirnya, kamu menjalani semuanya dengan diam-diam. Dengan luka-luka kecil yang tak terlihat siapa pun. Dengan air mata yang kamu sembunyikan di balik senyum ramah. Dengan beban yang kamu peluk sendiri tiap malam. Orang-orang mengira kamu baik-baik saja, karena kamu pandai menyembunyikannya. Tapi jauh di dalam, kamu tahu: kamu sedang bertahan, dengan sisa-sisa tenaga yang tak pernah kamu bagi cerita.

Namun, kamu tidak sendiri. Ada banyak anak sulung, banyak sosok “andalan”, yang juga menyimpan lelah dalam senyap. Dan di antara kita, saling mengerti adalah bentuk pelukan paling sunyi, namun paling dalam.

Berpikir Positif: Bukan Memaksa Bahagia, Tapi Memilih untuk Tidak Menyerah

Di tengah tekanan hidup dan ekspektasi yang sering kali tidak adil, berpikir positif bukan berarti memaksakan diri untuk bahagia setiap saat. Bukan pula tentang menertawakan luka atau menutupi tangis dengan senyum palsu. Berpikir positif adalah tentang cara kamu memaknai rasa lelahmu bukan sebagai tanda kelemahan, tapi sebagai bukti bahwa kamu terus berjalan, meski dengan langkah yang tertatih.

Ini bukan perkara sederhana. Dunia kadang terasa begitu bising, menuntut kamu untuk selalu kuat, selalu produktif, selalu tahu arah. Tapi berpikir positif bukan tentang menjadi sempurna. Ini tentang memilih untuk tetap percaya bahwa semua perjuangan yang kamu lalui, sekecil apa pun, tetap berarti. Bahwa di balik hari-hari yang tampak biasa, ada keberanian luar biasa yang tak selalu dilihat orang lain.

Berpikir positif juga bukan tentang menyangkal realita. Dunia memang keras. Ada hari-hari ketika semuanya terasa berat, ketika gagal rasanya datang bertubi-tubi. Tapi di tengah kerasnya dunia, kamu tetap bisa memilih untuk lembut terutama pada dirimu sendiri. Kamu bisa memberi ruang untuk beristirahat, memaafkan diri, dan memberi pelukan pada batin yang letih.

Karena sejatinya, berpikir positif adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk tetap membuka hati, meski pernah disakiti. Keberanian untuk terus melangkah, meski pernah jatuh. Keberanian untuk percaya bahwa kamu masih bisa bangkit. Bahwa hari esok masih menyimpan harapan. Dan bahwa kamu pantas mendapatkan hidup yang lebih tenang, lebih jujur, dan lebih utuh.

Merawat pikiran positif di tengah tekanan hidup memang tidak menyesali telapak tangan. Tidak ada rumus instan, tapi ada langkah-langkah kecil yang bisa kamu mulai hari ini. Pertama, izinkan diri Anda untuk lelah. Menjadi kuat bukan berarti harus selalu terlihat tangguh atau terus “on”. Kamu bisa istirahat, kamu bisa merasa rapuh—itu bukan tanda kegagalan, melainkan bentuk kejujuran terhadap dirimu sendiri. Kedua, luangkan waktu untuk menuliskan semua beban di kepala.

Terkadang kita merasa sesak tanpa mengetahui alasannya, dan menulis di jurnal bisa menjadi cara sederhana untuk mendengarkan isi hati tanpa menghakimi. Selain itu, perhatikan cara kamu berbicara pada diri sendiri. Alih-alih mengatakan, “Aku gagal terus,” cobalah menggantinya dengan, “Aku sedang belajar.” Kata-kata yang kita gunakan untuk diri sendiri sangat mempengaruhi cara kita melihat dunia. Selain itu, penting juga untuk dikelilingi oleh orang-orang yang memahami dan menerima kita apa adanya. Tidak perlu banyak—satu atau dua teman yang tulus bisa membuat perbedaan besar. Dan terakhir, rayakan setiap langkah kecil yang sudah kamu ambil. Mungkin kamu belum sampai di tujuan, tapi keberanianmu untuk terus melangkah hari ini layak dirayakan.

Kamu Tidak Harus Jadi Sempurna untuk Berharga

Sebagai anak pertama, kamu mungkin terbiasa berpikir bahwa nilai dirimu tergantung dari seberapa banyak kamu bisa memberi, seberapa kuat kamu bisa bertahan. Tapi kebenarannya: kamu berharga bahkan saat kamu sedang tidak bisa memberi apa-apa. Kamu berhak dicintai, bukan karena kamu berguna, tapi karena kamu ada. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kamu sudah berjalan sejauh ini, melewati hal-hal yang bahkan orang lain mungkin tidak mengetahuinya. Kamu tidak pantas dihargai. Oleh orang lain, dan yang paling penting bagi dirimu sendiri.

Kepada kamu, anak pertama yang sedang lelah tapi tetap tersenyum… terima kasih sudah bertahan. Kamu bukan hanya tulang punggung keluarga, kamu juga jiwa yang membutuhkan pelukan, perhatian, dan waktu untuk bernafas. Berpikirlah positif, bukan karena hidup selalu indah, tapi karena kamu percaya: badai ini akan berlalu. Dan kamu akan tetap berdiri—lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih mengenalkan dirimu sendiri.

Baja Juga

News Feed

UU Reformasi BUMN Disahkan, Menteri & Wamen Dilarang Rangkap Jabatan, tapi…

Mon, 6 Oct 2025 09:55

Jakarta -Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)….

Etika Jurnalistik Indonesia: Menjaga Kredibilitas di Tengah Dinamika Digital

Mon, 6 Oct 2025 06:26

Oleh: Sabrinna Az Zahra Di era digital yang serba cepat dan penuh tantangan, etika jurnalistik di Indonesia menjadi isu yang…

Melawan Hoaks di Era AI: Kolaborasi Jurnalis dan Teknologi untuk Memperkuat Literasi Digital

Mon, 6 Oct 2025 04:10

Oleh: Riga Fasya Dwi Jamaludin, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Perkembangan teknologi digital yang pesat ibarat pedang bermata dua. Di satu…

Jurnalistic Expo: Tantangan dan Peluang Etika Jurnalistik di Era Digital

Mon, 6 Oct 2025 02:43

Oleh: Sisilia Rosadi, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Perkembangan teknologi dan perubahan pola konsumsi media menuntut dunia jurnalistik di Indonesia beradaptasi…

Menjaga Integritas di Era Digital: Masa Depan Etika Jurnalistik Indonesia

Mon, 6 Oct 2025 02:28

Oleh: Kalyca Ninda Nf, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Di tengah derasnya arus transformasi digital dan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI),…

Masyarakat Kukar Keluhkan Tarif Tol Balikpapan–Samarinda: Harga Selangit, Kualitas Jalan Buruk

Mon, 6 Oct 2025 01:52

Kalimantan Timur –Sejumlah  warga Kaltim salah satunya warga Kutai Kartanegara, menyampaikan keluhan terkait kondisi Jalan Tol Balikpapan–Samarinda (Balsam) yang dinilai…

Jurnalisme Indonesia di Era Disrupsi: Kini dan Nanti

Sun, 5 Oct 2025 13:43

Oleh: Filza Hayuning Wafa, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Jakarta – Media jurnalistik Indonesia tengah menghadapi tantangan sekaligus peluang besar di…

Rudal KHAN Hadir di Tenggarong, Jamin Pertahanan Strategis IKN dan Kalimantan

Sun, 5 Oct 2025 11:01

Tenggarong —Sistem rudal balistik KHAN buatan Turki (Roketsan) resmi ditempatkan di Batalion Artileri Medan 18, Tenggarong, Kalimantan Timur. Kehadiran alutsista…

Mengawasi AI: Jurnalis Indonesia Bertransformasi Menjadi Operator dan Kurator Data

Sun, 5 Oct 2025 09:37

Oleh: Raden Muhammad Fajar Visandy, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tengah mengguncang dunia jurnalistik di…

Tantangan dan Arah Baru Media Jurnalistik Indonesia

Sun, 5 Oct 2025 06:59

Oleh: Maria Elisabeth Sitanggang, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta Perubahan besar tengah melanda dunia media seiring pesatnya perkembangan teknologi digital. Arus…

Berita Terbaru

Teknologi

Pendidikan

Visitor