Penulis: Cesar, Mahasiswa Universitas Mulawarman
Di tengah tekanan ekonomi global dan melemahnya daya beli masyarakat, pemerintah mengambil langkah berani dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan tertentu yang ditanggung pemerintah. Kebijakan pembebasan pajak bagi pekerja berpenghasilan dibawah Rp. 10 Juta per bulan ini bukan sekedar intensif fiskal biasa, ini merupakan sinyal politik ekonomi yang menjadi respon atas keluhan nyata jutaan keluarga yang tengah berjuang memenuhi kebutuhan dasar di tengah inflasi yang berkepanjangan. Sejak awal tahun, perbincangan publik disominasi oleh keluhan persoalan daya beli yang terus merosot. Harga kebutuhan dasar yang terus melonjak, sementara kenaikan upah tak sebanding dengan laju inflasi. Kebijakan ini hadir sebagai jawaban dengan memberikan “nafas” finansial tambahan bagi mayoritas pekerja formal yang selama ini merasakan pendapatan bersih mereka terpotong oleh berbagai potongan wajib. Namun pertanyaannya bukan sekadar apakah kebijakan ini populer, yang tentu saja sangan populer. Tapi yang perlu dipertanyakan adalah apakah stimulus jangka pendek ini cukup efektif untuk menggerakkan roda ekonomi secara berkelanjutan, atau justru hanya sebagai pereda nyeri sementara yang mengabaikan reformasi struktural lebih dalam yang sungguh lebih dibutuhkan ekonomi Indonesia? Kebijakan ini meskipun sekilas nampak baik, namun saya pribadi melihat hal ini berpotensi menjadi pisau bermata dua yang perlu dikaji dampak jangka panjangnya secara komprehenfis.
Kebijakan pembebasan PPh 21 ini memiliki justifikasi ekonomi yang kuat dari perspektif stimulus permintaan. Apabila kita melihat data dari Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 53-55% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Dengan adanya pembebasan pajak bagi pekerja bergaji dibawah Rp. 10 Juta yang mencakup mayoritas pekerja formal, Pemerintah berpotensi untuk memasukkan tambahan likuiditas hingga triliunan rupiah langsung ke tangan para konsumen. Secara toritis, hal tersebut menjadi pendorong konsumsi domestik, penggerak sektor ritel, dan pencipta multiplier effect pada ekonomi nyata, terutama pada sektor pdat karya dan pariwisata yang disebutkan sebagai target prioritas. Namun ketika kita melihat hal ini dari sisi lain, pembebasan pajak berarti pengurangan pendapatan negara yang padahal negara kita sedang gencar-gencarnya meningkatkan kebutuhan belanja untuk peningkatan di berbagai sektor seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga subsidi energi. Data dari kementrian keuangan menunjukkan tax ratio Indonesia masih berkisar pada angka 10-11%, angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata negara berkembang ASEAN lainnya yang memiliki tax ratio rata-rata 15-18%. Meskipun kebijakan ini baik bagi beberapa pihak, namun dapat memperlemah kapasitas fiskal negara dalam jangka panjang hingga berpotensi terciptanya ketergantungan pada intensif temporer yang sulit dicabut tanpa menimbulkan gejolak sosial.
Dapat saya simpulkan bahwasanya negara ini memerlukan alternatif yang lebih berkelanjutan untuk tetap menjaga daya beli masyarakat sekaligus kapasitas fiskal, pemerintah dapat mengadopsi intensif pajak bersyarat dan temporer yang wajib dievaluasi setiap kuartal berbasis data dan konsumsi nyata bukan dengan pembebasan menyeluruh. Skema ini bisa dikombinasikan dengan ekspansi berbasis pajak digital dan pengenaan pajak karbon progresif yang sebagaimana rekomendasi IMF 2024 dan OECD Inclusive Framework. Pendekatan terukur ini menyalurkan stimulus kepada sektor padat karya tanpa menggerus tax ratio sambil memperkuat pendapatan yang berkelanjutan untuk pengembangan berbagai sektor. Pembebasan PPh 21 bagi pekerja berpenghasilan di bawah RP. 10 Juta merupakan langkah politis yang resonsif, namun negara ini membutuhkan lebih dari sekedar obat pereda nyeri sementara. Kebijakan ini menjadi gambaran nyata bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan solusi parsial untuk mengatasi krisis struktural. Pemerintah harus berani mengevaluasi berbasis data secara berkala, bukan hanya melanjutkan insentif menyeluruh tanpa mengukur dampak kedepannya. Sudah saatnya negara ini berhenti bergantung pada kebijakan reaktif dan memulai reformasi pajak yang menyeluruh, dengan cara perluasan pajak digital, penerapan pajak karbon secara bertahap, hingga perbaikan subsidi agar lebih tepat sasaran. Tanpa keberanian melakukan reformasi fundamental, dapat saya katakan stimulus hari ini hanya akan menjadi beban perekonomian di esok hari. Pertanyaan kritisnya bukan apakah pemerintah mampu memberikan insentif bagi para pekerja, melainkan apakah pemerintah cukup berani membangun sistem yang berkelanjutan untuk generasi yang akan datang. Momentum ini harus dimanfaatkan sebagai titik balik menuju tata kelola perekonomian yang lebih adil dan resilien
t.