Penulis: Salma Anisa Afriani, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.
“Ketika kita tidak bisa mengubah keadaan, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri,” tulis Viktor E. Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning. Pernyataan ini terasa sangat relevan di tengah dunia yang dipenuhi tekanan dan ketidakpastian. Setiap individu pernah menghadapi kegagalan, kehilangan, atau luka yang dalam. Namun yang membedakan seseorang yang tenggelam dengan yang bangkit bukanlah besar kecilnya masalah, melainkan cara berpikir dan meresponsnya.
Data dari American Psychological Association dalam laporan Stress in America 2023 menunjukkan bahwa 77% orang dewasa di Amerika mengalami stres kronis yang disebabkan oleh tekanan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Hal ini mencerminkan bahwa tantangan mental telah menjadi masalah global, bukan lagi urusan personal semata. Dalam konteks ini, berpikir positif muncul sebagai alternatif solusi yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk dipahami secara lebih dalam dan ilmiah.
Berpikir positif sering disalahpahami sebagai sekadar “berpura-pura bahagia” atau menolak kenyataan. Padahal, menurut Dr. Martin Seligman (pendiri aliran positive psychology) optimisme bukanlah ilusi, melainkan keyakinan berbasis nalar bahwa masa depan bisa lebih baik jika kita memiliki kendali atas respons kita terhadap keadaan. Studi dari Mayo Clinic (2022) bahkan menegaskan bahwa pola pikir positif terbukti mampu menurunkan tingkat stres, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan menurunkan risiko penyakit mental seperti depresi. Dalam jangka panjang, ini berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih sehat secara fisik maupun emosional.
Dari sisi fisiologis, efek berpikir positif juga terukur secara nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health (2019) menemukan bahwa individu yang memiliki pola pikir optimis memiliki risiko lebih rendah terhadap penyakit kronis seperti jantung, stroke, dan kanker, serta berpeluang hidup 11 hingga 15% lebih lama dibanding mereka yang pesimis. Hal ini terjadi karena pikiran yang positif mampu mengatur produksi hormon stres seperti kortisol, yang bila berlebihan dapat merusak fungsi sistem imun dan mempercepat penuaan sel. Artinya, cara kita berpikir bisa memengaruhi fungsi biologis tubuh secara menyeluruh.
Namun berpikir positif tidak berarti menolak rasa sakit atau kesedihan. Justru, seperti yang ditegaskan oleh Dr. Susan David, psikolog dari Harvard, kesehatan mental yang baik dimulai dari kejujuran terhadap emosi. Menyadari perasaan kecewa, marah, atau takut bukan kelemahan, melainkan bentuk keberanian. Dari titik inilah seseorang bisa mengelola emosinya dan memilih untuk tidak larut dalam kesedihan. Dengan kata lain, berpikir positif adalah keputusan sadar untuk menyalakan cahaya di tengah gelap, bukan menutup mata terhadap kegelapan itu sendiri.
Fenomena post-traumatic growth semakin memperkuat bukti bahwa dari luka yang dalam bisa lahir pertumbuhan yang luar biasa. Istilah ini diperkenalkan oleh Richard G. Tedeschi dan Lawrence G. Calhoun, dua psikolog dari University of North Carolina, yang mengamati bagaimana individu yang mengalami trauma berat justru menemukan makna, kekuatan, dan arah hidup baru. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan selama pandemi COVID-19 justru beralih menjadi wirausaha, menemukan minat baru, atau memperkuat hubungan spiritual mereka. Dari krisis muncul jalan, dari kehilangan tumbuh keberanian.
Berpikir positif bukan bakat alami, melainkan keterampilan yang dapat dilatih. Beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan antara lain: pertama, mengubah narasi internal seperti “Aku gagal total” menjadi “Aku sedang belajar.” Kedua, menulis rasa syukur setiap hari untuk menyeimbangkan fokus otak terhadap hal-hal baik. Ketiga, menjaga lingkungan sosial yang suportif karena pikiran negatif sering dipupuk oleh relasi yang toksik. Keempat, melakukan refleksi atas kegagalan bukan untuk menyalahkan diri sendiri, melainkan untuk belajar. Terakhir, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang religius, memperkuat hubungan spiritual melalui doa dan ibadah dapat menjadi penopang harapan yang paling kuat.
Kesimpulannya, berpikir positif bukan hanya kebutuhan psikologis, tetapi juga strategi hidup yang terbukti berdampak nyata secara medis, emosional, dan sosial. Di tengah krisis global yang tak menentu, menanamkan pola pikir positif adalah bentuk perlawanan paling manusiawi yang bisa kita pilih. Ia tidak hanya membantu kita bertahan, tetapi juga berkembang. Dalam setiap luka memang ada sakit, tetapi di sana pula tersimpan kemungkinan untuk sembuh dan menjadi lebih bijak. Maka, jangan remehkan kekuatan satu pikiran positif, ia bisa menjadi cahaya bagi hari-hari tergelap dalam hidup kita.