Penulis: Salma, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Perkembangan media jurnalistik di Indonesia terus mengalami perubahan signifikan dalam dua dekade terakhir. Dari masa kejayaan media cetak di era 1990-an, kemudian bergeser ke media daring (online) pasca-reformasi, hingga kini memasuki babak baru dengan dominasi media sosial serta platform digital berbasis algoritma. Pertanyaan besar pun muncul: ke mana arah jurnalisme Indonesia di masa depan?
Media Kini: Antara Digitalisasi dan Disrupsi
Saat ini, media daring masih menjadi arus utama konsumsi informasi masyarakat. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 mencatat, pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 221 juta jiwa atau 79,5% dari total populasi. Mayoritas mengakses berita melalui ponsel pintar dengan dominasi aplikasi media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter).
Namun, fenomena ini menimbulkan dilema baru. Laporan Reuters Institute Digital News Report 2023 menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media menurun menjadi hanya 39%. Salah satu penyebabnya adalah maraknya informasi palsu (hoaks) yang beredar tanpa verifikasi. Kondisi ini menantang peran jurnalis sebagai penyaring informasi (gatekeeper) sekaligus penjaga kebenaran (watchdog).
Di sisi lain, media konvensional—terutama cetak—kian terpinggirkan. Laporan Dewan Pers 2024 menyebut jumlah media cetak menurun drastis, sementara media daring terus bertambah meski kualitas jurnalismenya masih beragam.
Tren Baru: Jurnalisme Berbasis Teknologi
Transformasi media tidak berhenti pada digitalisasi. Tren global menunjukkan pemanfaatan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam produksi berita. The Associated Press, misalnya, telah menggunakan AI untuk menulis laporan keuangan rutin sejak 2014. Fenomena serupa mulai dilirik media di Indonesia.
Menurut analisis Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), AI berpotensi memainkan peran penting dalam ruang redaksi masa depan, mulai dari penyusunan draf berita, transkripsi wawancara, hingga distribusi konten berbasis algoritma. Namun, risiko besar mengintai: potensi misinformasi otomatis, bias algoritma, dan tergerusnya peran jurnalis manusia.
Selain AI, format audio-visual semakin dominan. Podcast, video pendek, hingga liputan interaktif berbasis data menjadi strategi media untuk menarik audiens muda. Survei Katadata Insight Center 2023 menunjukkan 62% generasi Z lebih menyukai konten berita dalam bentuk video pendek ketimbang artikel panjang.
Prediksi: Menuju Era Jurnalisme 5.0
Masa depan jurnalisme Indonesia diperkirakan bergerak menuju era Jurnalisme 5.0, di mana teknologi berpadu dengan nilai humanisme. Beberapa prediksi kunci antara lain:
1. Hyper-Personalized News – Berita semakin dipersonalisasi melalui algoritma. Tantangannya, media harus mencegah jebakan filter bubble yang membatasi keragaman informasi.
2. Kolaborasi Media dan Publik – Jurnalisme warga (citizen journalism) akan semakin meningkat. Media arus utama perlu mengintegrasikan suara publik dengan standar verifikasi profesional.
3. Ekonomi Media Berbasis Komunitas – Model bisnis media diprediksi beralih dari iklan ke langganan (subscription) serta dukungan komunitas (membership).
4. Etika Jurnalistik Lebih Diuji – Arus AI dan disinformasi menuntut media tetap berpegang pada kode etik agar kredibel.
5. Integrasi Multiplatform – Masa depan media bersifat hibrida, dengan teks, audio, video, hingga konten interaktif yang saling melengkapi.
Tantangan dan Harapan
Tantangan besar yang dihadapi media antara lain keberlanjutan bisnis di tengah dominasi raksasa digital global seperti Google dan Meta, rendahnya literasi media masyarakat, serta kebutuhan adaptasi jurnalis terhadap teknologi tanpa kehilangan nilai dasar jurnalistik.
Meski demikian, harapan tetap terbuka. Jika media mampu mengombinasikan teknologi dengan integritas, masa depan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk menghadirkan informasi yang cepat, akurat, dan relevan.
Seperti dikatakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, “Jurnalisme pada dasarnya adalah untuk kepentingan publik.” Teknologi boleh berubah, tetapi misi jurnalistik tetap sama: mengungkap fakta dan menggerakkan asa.