Oleh: Intan Nur Anwari, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Jakarta – Dunia media tengah mengalami perubahan besar di era digital. Semangat itu terlihat dalam kegiatan Journalistic Expo Day 2025, Journey yang digelar Program Studi Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) pada Selasa (30/9/2025).
Salah satu sesi bertajuk “Mediapreneur: Showcasing Ideas, Igniting Innovation” menghadirkan Salman Alfarisi, Product Experience di PaveNow, yang mendorong mahasiswa untuk berpikir melampaui ruang redaksi.
“Jurnalis sekarang bukan cuma pembawa berita. Mereka bisa jadi pembuat platform, content strategist, bahkan pengusaha media,” ujar Salman dalam sesi di Auditorium Perpustakaan PNJ.
Fenomena ini sejalan dengan perubahan besar yang sedang melanda industri media di Indonesia, di mana jurnalis dituntut beradaptasi dengan teknologi sekaligus menjaga nilai kejujuran serta kredibilitas.
Pola Konsumsi Berubah
Menurut Reuters Institute Digital News Report 2024, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia kini mendapatkan berita melalui media sosial. Tren ini mengubah cara media beroperasi dan menuntut jurnalis lebih kreatif dalam membangun kedekatan dengan pembaca.
Rismanto Setiawan, Digital Marketing Coordinator PT Conwood Indonesia sekaligus pendiri MediaFocus.co dan Realitas Sahabat, menilai jurnalisme masa kini tidak bisa lagi bergantung pada teks dan kecepatan semata.
“Publik sekarang mencari pengalaman dari berita. Mereka ingin melihat visual, narasi yang hidup, dan kedalaman makna,” ujarnya.
Kondisi ini membuka peluang bagi jurnalis muda untuk menjadi mediapreneur, membangun platform sendiri seperti Asumsi, Narasi, dan Greatmind yang berhasil menggabungkan jurnalisme, kreativitas, dan strategi multiplatform.
Kepercayaan Publik Naik Tipis
Di tengah derasnya arus informasi dan maraknya disinformasi, secercah optimisme muncul. Penelitian Reuters Institute bersama University of Oxford (2025) menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap media di Indonesia naik tipis dari 35 persen menjadi 36 persen.
Janet Steele, profesor bidang media dan hubungan internasional di George Washington University, menyebut peningkatan kecil ini sebagai “angin segar di tengah gersangnya industri pers.” Meski begitu, ia menekankan stabilitas kepercayaan publik tetap rapuh jika media tidak memperkuat akurasi dan transparansi.
Namun, survei Timur Barat Research Center (TBRC) justru menunjukkan tantangan lain. Dari jajak pendapat terhadap 1.700 responden di 34 kota, kepercayaan publik terhadap Media Tempo hanya mencapai 48,7 persen. Direktur Eksekutif TBRC, Zainal Abidin, menjelaskan bahwa angka itu menggambarkan masih lemahnya persepsi publik terhadap independensi dan keseimbangan pemberitaan di media nasional.
Tantangan Kredibilitas dan Etika
Laporan Workshop Periksa Fakta Tirto (September 2025) mengungkap 30–60 persen masyarakat Indonesia masih terpapar disinformasi, dan hanya 36 persen yang mampu mengenali hoaks. Fakta ini menegaskan pentingnya peran jurnalis dalam menjaga ruang digital yang sehat.
“Jurnalis yang bertahan nanti bukan yang paling cepat, tapi yang paling memahami manusia,” kata Rismanto. Ia menekankan bahwa di tengah gempuran teknologi, empati sosial dan etika tetap menjadi nilai utama jurnalisme.
Data Dewan Pers (2024) juga menunjukkan bahwa berita humanis dan berbasis komunitas semakin diminati pembaca muda. Hal ini menandakan pergeseran minat dari berita politik ke kisah kemanusiaan yang lebih relevan dengan keseharian publik.
Generasi Baru Jurnalis
Fenomena serupa juga terasa di dunia kampus dan komunitas jurnalis muda. Banyak mahasiswa komunikasi kini belajar manajemen media digital, literasi data, dan etika publikasi daring. Mereka membuat kanal berita kampus, mengelola akun media sosial redaksi, hingga berkolaborasi dalam liputan warga (citizen journalism).
Gerakan ini menunjukkan generasi muda tidak hanya menjadi konsumen berita, tetapi juga pencipta ekosistem media baru yang lebih partisipatif.
Prediksi Lima Tahun ke Depan
Ke depan, model media kolaboratif dan berbasis komunitas diyakini akan mendominasi. Media tidak lagi satu arah, melainkan ruang diskusi interaktif antara jurnalis dan publik.
“Media masa depan harus bisa hadir di tengah masyarakat, bukan sekadar di layar gawai,” ujar Rismanto.
Analisis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Tirto.id juga menunjukkan hoaks politik dan sosial masih mendominasi ruang digital menjelang 2025, terutama di Facebook dan TikTok. Karena itu, media yang mampu menegakkan verifikasi dan transparansi akan menjadi garda depan membangun kembali kepercayaan publik terhadap jurnalisme.
Masa depan jurnalistik di Indonesia akan bergantung pada dua hal: kemampuan beradaptasi dengan teknologi dan keberanian menjaga kejujuran. Jurnalisme bukan lagi sekadar profesi, tetapi ruang ekspresi, kolaborasi, dan tanggung jawab sosial untuk menyalakan kembali kepercayaan masyarakat.