Penulis: Khaylila Safitri, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Di era digital, media sosial seperti Instagram, X (Twitter), TikTok, atau Threads bukan hanya tempat berbagi momen, tetapi juga menjadi arena utama dalam membentuk koneksi sosial. Namun, apakah koneksi yang dibangun di dunia maya selalu berdampak sehat bagi kehidupan nyata? Pertanyaan ini menjadi penting sejak banyak interaksi online tidak memberi manfaat emosional, apalagi mental.
Menurut laporan dari Good Stat 2025, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 139 juta orang. Angka yang masif dan terus bertumbuh. Kemudahan ini memungkinkan siapa pun untuk terkoneksi dengan teman lama hingga tokoh publik. Tapi paradoks pun muncul, semakin terhubung secara digital, justru semakin terasing secara emosional.
Banyak pengguna mengikuti akun-akun yang tidak memiliki kedekatan personal, memberikan “like” secara otomatis, atau terlibat dalam percakapan toksik. Fenomena ini dikenal sebagai parasocial interaction, yakni hubungan satu arah yang terasa nyata namun tidak saling membangun. Interaksi semacam ini sering digunakan sebagai pengganti hubungan sosial nyata, padahal dampaknya bisa menimbulkan kesepian yang lebih dalam.
Balasan komentar atau pesan sering dianggap sebagai bentuk perhatian, padahal bisa saja hanya dorongan impulsif yang berakar dari ketakutan tertinggal atau tidak relevan. Hubungan yang sehat sebenarnya membutuhkan keseimbangan antara koneksi digital dan keterlibatan emosional yang nyata.
Media Sosial Bukan Musuh
Media sosial bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi harus digunakan secara sadar. Pendekatan ini melibatkan pengaturan waktu layar, pemilihan konten yang relevan dan sehat, serta membatasi interaksi dengan akun-akun yang memicu stres atau perbandingan sosial yang tidak sehat. Menyusun linimasa yang positif bisa menjadi langkah awal menciptakan ruang digital yang lebih suportif.
Pengguna yang selektif dalam mengikuti akun atau menyusun kontennya akan lebih mudah menjaga kondisi mental yang stabil. Fokus pada konten edukatif, seni, atau komunitas bisa menciptakan pengalaman media sosial yang lebih bermakna.
Koneksi yang sehat tidak diukur dari jumlah pengikut atau jumlah komentar, melainkan dari kualitas interaksi. Tujuan dari setiap interaksi harus jelas, apakah untuk membangun kolaborasi, menjaga hubungan lama, atau mencari inspirasi? Dengan tujuan yang kuat, setiap balasan dan unggahan memiliki makna yang lebih.
Salah satu strategi yang efektif adalah mulai memprioritaskan percakapan dengan orang-orang yang memiliki hubungan emosional yang nyata. Alih-alih fokus pada jumlah interaksi, kualitas hubungan menjadi prioritas. Fitur “mute” juga dapat digunakan untuk menjaga kenyamanan, tanpa harus menimbulkan konflik terbuka.
Ekosistem media sosial yang sehat dibangun melalui prinsip: kurasi, interaksi bernilai, dan batas waktu. Kurasi konten membantu pengguna hanya terpapar informasi yang bermanfaat. Interaksi bernilai memastikan bahwa komunikasi tidak menjadi beban. Batas waktu melindungi kesehatan mental dari kelelahan digital.
Digital detox, bahkan hanya satu jam sehari, bisa menjadi langkah kecil dengan dampak besar. Kegiatan offline seperti membaca, berjalan kaki, atau berinteraksi langsung dengan orang lain bisa memperkaya keseharian yang selama ini dikuras oleh layar.
Koneksi yang Lebih Mendalam
Koneksi yang sehat juga menekankan pentingnya menjadi pendengar yang baik. Dalam interaksi digital, tidak semua hal membutuhkan reaksi cepat atau solusi. Kadang, cukup hadir dan menunjukkan empati bisa menciptakan kedekatan yang lebih dalam.
Selain itu, relasi digital yang otentik tidak membutuhkan pencitraan berlebihan. Kejujuran dalam membagikan cerita atau tanggapan justru memperkuat kepercayaan dan keintiman digital. Keaslian lebih dihargai daripada kesan sempurna.
Menentukan batas dalam penggunaan media sosial adalah hak setiap individu. Tidak semua pesan perlu dibalas segera, tidak semua isu harus direspons. Memberi ruang pada diri sendiri adalah bagian dari perawatan emosi, sekaligus tanda bahwa koneksi digital tidak boleh mengambil alih keseimbangan hidup.
Koneksi yang sehat memungkinkan seseorang merasa bebas, bukan tertekan. Lingkaran sosial bisa saja mengecil, tetapi justru menjadi lebih tulus dan suportif. Energi yang dikeluarkan untuk membangun relasi juga menjadi lebih tepat sasaran.
Menggunakan media sosial untuk menunjukkan dukungan. Misalnya menyapa teman lama, mengapresiasi karya orang lain, atau menyebarkan kabar baik. Hal ini dapat memperkuat ikatan sosial. Saat ruang digital dipenuhi oleh energi positif, pengalaman daring pun terasa lebih manusiawi.
Mengubah cara menggunakan media sosial tidak harus ekstrem. Perubahan kecil yang konsisten, seperti memilih kata yang lebih bijak saat berkomentar, atau meluangkan waktu untuk mendengarkan, akan membentuk koneksi yang lebih sehat dan jangka panjang.
Kesehatan relasi digital juga sangat bergantung pada kemampuan untuk memilah konflik. Tidak semua perdebatan perlu ditanggapi, terlebih jika hanya memicu polarisasi atau perpecahan. Menghindari komentar yang bersifat memancing dan memilih diam adalah bentuk kedewasaan digital yang sering kali luput dari perhatian.
Fungsi media sosial juga perlu dikembalikan sebagai ruang untuk saling memberdayakan. Alih-alih membandingkan pencapaian, pengguna bisa saling mendukung satu sama lain melalui apresiasi yang tulus. Bahkan unggahan sederhana yang penuh empati bisa memberi dampak positif bagi kesejahteraan mental orang lain.
Sikap selektif dalam mengikuti akun juga dapat menjadi filter alami. Mengikuti terlalu banyak akun yang memperlihatkan gaya hidup mewah atau kesuksesan instan berisiko memicu rasa iri dan rendah diri. Dengan menyusun linimasa yang realistis dan inklusif, pengguna akan lebih mudah merasakan kedamaian saat berselancar di media sosial.
Platform digital sebenarnya juga menyediakan banyak fitur yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kenyamanan. Fitur seperti blokir, batasi komentar, hingga kontrol privasi adalah alat yang dirancang bukan untuk menjauhkan, melainkan untuk melindungi. Sayangnya, banyak yang masih enggan memanfaatkannya karena takut dianggap “tidak dewasa”.
Media sosial juga bisa menjadi cermin nilai-nilai yang dianut. Apa yang dibagikan, siapa yang dikomentari, dan bagaimana cara menyampaikan opini mencerminkan karakter pengguna. Maka dari itu, membangun koneksi sehat bukan hanya tentang menjaga hubungan, tetapi juga menjaga citra diri secara konsisten dan beretika.
Koneksi digital yang berkualitas akan membentuk jaringan sosial yang suportif. Dalam komunitas yang sehat, kritik disampaikan dengan santun, perbedaan dihormati, dan pencapaian dirayakan bersama. Ruang digital bisa menjadi tempat tumbuh bersama, bukan hanya tempat pamer.
Salah satu bentuk koneksi sehat yang mulai tumbuh adalah kolaborasi lintas minat dan daerah. Banyak komunitas online kini menjadi wadah produktif, seperti kelompok belajar, komunitas literasi, atau forum diskusi kreatif. Interaksi dalam kelompok semacam ini mendorong pengguna untuk tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi sebagai peserta aktif.
Membangun koneksi sehat lewat media sosial bukan sekadar perkara membatasi waktu layar atau menyortir akun yang diikuti. Tetapi tentang menyadari kembali esensi dari hubungan itu sendiri. Hubungan yang saling mendukung, menghargai, dan menguatkan. Di tengah arus informasi yang deras dan interaksi yang serba cepat, menjaga kualitas relasi digital menjadi tanggung jawab bersama. Kini saatnya menjadikan media sosial bukan sebagai tempat untuk bersaing eksistensi, melainkan ruang tumbuh untuk berbagi nilai dan empati. Karena pada akhirnya, relasi yang bermakna bukan ditentukan oleh seberapa banyak kita terlihat, tetapi seberapa dalam kita terhubung.