Penulis: Gustina Nurma Larasati, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Kebenaran jurnalistik di Indonesia kini sedang diuji dalam situasi yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Ketika berita bisa diproduksi dalam hitungan detik oleh siapa pun, pertanyaannya bukan lagi siapa paling cepat memberitakan, tetapi siapa yang bisa dipercaya.
Fenomena ini menjadi titik balik bagi masa depan jurnalisme Indonesia. Di tengah derasnya arus informasi dan kemunculan teknologi kecerdasan buatan (AI), media harus berjuang keras agar tidak tenggelam dalam gelombang disinformasi yang semakin canggih.
Antara Kecepatan dan Kebenaran
Laporan Reuters Institute Digital News Report 2025 menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia kini mendapatkan berita dari media sosial—terutama TikTok, YouTube, dan WhatsApp. Artinya, media bukan lagi satu-satunya penentu arus informasi publik. Di ruang digital, siapa pun bisa menjadi “jurnalis dadakan” hanya dengan bermodal kamera dan opini pribadi.
Namun, kemudahan ini membawa konsekuensi. Penelitian FISIPOL UGM (2023) mencatat masyarakat semakin sulit membedakan antara konten berita dan opini pribadi. Akibatnya, batas antara fakta dan tafsir menjadi kabur. Kecepatan informasi kerap mengorbankan akurasi, sementara verifikasi fakta sering datang terlambat.
Koalisi CekFakta Indonesia bersama sejumlah redaksi nasional berusaha mengimbangi laju misinformasi melalui kolaborasi lintas media. Namun, laju penyebaran hoaks sering kali lebih cepat daripada klarifikasinya. Hal ini karena algoritma media sosial tidak didesain untuk menampilkan berita paling benar, melainkan berita paling banyak direspons.
Akibatnya, kebenaran kini bersaing di pasar perhatian (attention economy), di mana klik dan sensasi lebih dihargai daripada konteks dan data.
AI: Musuh Redaksi?
Teknologi kecerdasan buatan membuka babak baru dalam dunia pemberitaan. AI mampu menulis ringkasan berita, menyusun judul, bahkan meniru gaya bicara tokoh publik. Di tangan kreatif, ini bisa menjadi alat bantu luar biasa. Namun di tangan yang salah, AI justru dapat memproduksi kebohongan yang tampak sempurna.
Beberapa redaksi di Indonesia mulai menerapkan kebijakan etik dalam penggunaan AI, seperti mencantumkan keterangan “diedit dengan bantuan AI” atau “ilustrasi hasil AI” pada konten visual. Langkah kecil ini penting, karena di era di mana realitas bisa direkayasa, transparansi menjadi bentuk baru dari kejujuran.
Masalahnya, tidak semua media memiliki kapasitas dan kesadaran untuk melakukannya. Tanpa etika yang jelas, AI berpotensi menjadi “mesin propaganda otomatis” yang mengikis kepercayaan publik terhadap jurnalisme.
Krisis Kepercayaan Publik
Selain masalah disinformasi, algoritma platform digital juga berperan besar membentuk lanskap kebenaran. Sistem rekomendasi konten bekerja berdasarkan preferensi pengguna, bukan nilai faktual. Akibatnya, pengguna terjebak dalam echo chamber, hanya melihat berita yang sejalan dengan keyakinannya.
Kondisi ini menimbulkan paradoks: publik menuntut kebenaran, tetapi sekaligus menolak informasi yang tidak sesuai dengan pandangannya. Menurut laporan Reuters Institute, lebih dari 40% responden di Indonesia mengaku “menghindari berita” karena lelah dengan polarisasi dan konflik opini di media sosial.
Krisis kepercayaan inilah yang menjadi ancaman terbesar bagi masa depan jurnalisme. Meski begitu, bukan berarti jurnalisme kehilangan arah. Banyak redaksi di Indonesia mulai beradaptasi dengan membangun kemitraan lintas sektor—menggabungkan kekuatan media, lembaga akademik, dan organisasi pemeriksa fakta.
Tiga Skenario Masa Depan Jurnalistik
Melihat perkembangan teknologi dan dinamika sosial-politik, masa depan kebenaran jurnalistik di Indonesia bisa berjalan ke tiga arah:
1. Skenario optimistis: Media berhasil beradaptasi dengan teknologi dan memperkuat sistem verifikasi digital. AI menjadi alat bantu, bukan pengganti jurnalis.
2. Skenario fragmentasi: Publik terpecah dalam kubu informasi masing-masing, sehingga kebenaran menjadi relatif.
3. Skenario represif: Regulasi digital yang terlalu ketat justru membatasi kebebasan pers dan mengancam independensi redaksi.
Pilihan arah ini sangat bergantung pada bagaimana media, pemerintah, dan masyarakat digital Indonesia menata ulang etika informasi dalam lima tahun ke depan.
Kebenaran jurnalistik bukanlah sesuatu yang statis. Ia terus diuji, diperdebatkan, dan diperjuangkan. Dalam dunia di mana berita palsu bisa dibuat lebih cepat dari klarifikasinya, kejujuran menjadi bentuk keberanian baru bagi jurnalis.
Tantangan masa depan bukan sekadar mempertahankan idealisme, melainkan menegosiasikan ulang cara kebenaran dihadirkan kepada publik. Jika media mampu menjaga integritas dan keterbukaan di tengah disrupsi teknologi, jurnalisme Indonesia tidak akan punah—justru akan berevolusi menjadi benteng terakhir rasionalitas di tengah kabut informasi.