Penulis: Hanifah Putri Khodijah, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta.
Diera serba cepat dan digital ini, kita sering lupa makna hubungan yang benar-benar tulus. Padahal, menurut Kementerian Kesehatan RI (2023), kualitas hubungan interpersonal yang sehat sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang.
Mengutip Kompas (2024), hubungan positif berperan penting dalam membentuk rasa percaya diri, empati, dan kebahagiaan. Sayangnya, masih banyak yang menganggap remeh pentingnya koneksi yang sehat. Padahal, relasi yang baik juga berdampak besar pada produktivitas di dunia kerja.
Sebagai mahasiswa, saya sering mengamati bagaimana relasi antar teman sekelas berubah karena faktor kompetisi, prasangka, atau kesalahpahaman kecil. Jika tidak diatasi, hal ini bisa menimbulkan jarak emosional dan membuat lingkungan belajar terasa tidak nyaman. Maka dari itu, penting untuk membangun komunikasi yang jujur dan terbuka sejak awal.
Menurut psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Dr. Nina Sari, salah satu kunci utama dalam menciptakan hubungan positif adalah kehadiran empati. Artinya, kita tidak hanya mendengar, tetapi juga mencoba memahami posisi orang lain. Dengan empati, konflik bisa dicegah sebelum membesar, dan kolaborasi bisa terjalin lebih kuat.
Namun, menjaga hubungan tidak bisa hanya bergantung pada niat baik. Kita juga perlu belajar mengelola ego, menyampaikan pendapat tanpa menyakiti, dan memberi ruang bagi perbedaan. Ini memang tidak mudah, apalagi di usia muda yang masih penuh emosi. Tapi justru di sinilah proses kedewasaan dimulai.
Solusinya? Mulai dari hal sederhana: sapa temanmu lebih dulu, tanyakan kabarnya tanpa basa-basi. Jika ada konflik, selesaikan secara langsung, jangan lewat pesan singkat yang bisa disalahpahami. Kebiasaan kecil ini dapat menjadi fondasi relasi yang lebih kuat dan tulus.
Melansir Harvard Health Publishing (2023), orang-orang yang memiliki hubungan sosial yang baik cenderung hidup lebih lama dan lebih bahagia. Ini menunjukkan bahwa membangun relasi positif bukan hanya soal perasaan, tapi juga soal kelangsungan hidup yang sehat secara fisik dan mental.
Pada akhirnya, hubungan positif bukan soal berapa banyak teman yang kita punya, tapi bagaimana kita memperlakukan mereka dan diri kita sendiri. Jika kita bisa mulai dari lingkungan terdekat keluarga, teman, dosen, dan tetangga kampus maka kita sudah berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih empatik dan manusiawi.