Oleh: Mahagiga Muhammad Wicaksono, Mahasiswa, Politeknik Negeri Jakarta
Jakarta -Di tengah derasnya arus digitalisasi dan hadirnya kecerdasan buatan (AI), batas antara jurnalisme dan media sosial semakin kabur. Masyarakat kini tidak hanya menjadi pembaca berita, tetapi juga produsen informasi. Fenomena ini melahirkan bentuk baru praktik jurnalistik: social media journalism, yakni peliputan, penyajian, dan distribusi berita yang sepenuhnya berlangsung di ranah media sosial.
Lebih dari 60 persen pengguna internet di Indonesia kini memperoleh berita melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Hal ini menuntut para jurnalis untuk tidak lagi bergantung hanya pada situs berita utama. Mereka perlu memahami logika algoritma, strategi engagement, serta penggunaan alat berbasis AI untuk menghasilkan konten yang relevan dan menarik.
Dari Ruang Redaksi ke Layar Ponsel
Dalam acara Journalistic Expo Politeknik Negeri Jakarta 2025, praktisi digital sekaligus Product Experience Specialist di PaveNow Poland, Mohamad Salman Alfarisi, menegaskan pentingnya literasi digital bagi setiap profesi, termasuk jurnalis.
“Zaman sudah berubah. Tanpa memahami teknologi dan algoritma media sosial, kita akan tertinggal,” ujar Salman dalam sesi bertajuk “Menjadi Entrepreneur di Era AI.”
Menurutnya, digitalisasi bukan hanya mempercepat pertumbuhan bisnis, tetapi juga mengubah cara informasi dikonsumsi. Dengan bantuan AI, analisis tren berita, penyusunan naskah, hingga visualisasi konten bisa dilakukan dengan lebih efisien. Bagi jurnalis, kecepatan, kreativitas, dan konsistensi kini menjadi kunci utama.
Era “News Creator” dan Demokratisasi Informasi
Tren saat ini menunjukkan pergeseran besar. Jika sebelumnya berita diproduksi oleh redaksi besar, kini ribuan news creator independen bermunculan di TikTok, YouTube, dan Instagram. Mereka memadukan gaya jurnalistik dengan pendekatan personal. Konten video singkat berdurasi 60 detik dapat menjelaskan isu sosial atau ekonomi dengan sederhana sekaligus menarik.
Laporan Digital News Report 2025 dari Reuters Institute menegaskan bahwa TikTok menjadi platform berita dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia, melampaui Facebook dan X. Namun, fenomena ini juga membawa tantangan etika baru: informasi belum terverifikasi kerap lebih cepat viral dibanding klarifikasi resmi, sehingga publik rentan terhadap disinformasi.
“Masalah terbesar di media sosial bukan kurangnya informasi, tapi justru banjir informasi palsu,” jelas Salman.
AI dan Masa Depan Jurnalisme Digital
Para ahli memperkirakan AI akan menjadi mitra utama dalam produksi berita sosial media. Jurnalis masa depan diprediksi akan menggunakan berbagai alat seperti NotebookLM, Gemini Flash, hingga Lovart.ai untuk riset tren, menulis draf berita, dan membuat infografik secara otomatis.
Salman juga menekankan enam langkah penting yang bisa diadaptasi dalam jurnalisme digital:
1. Research – Memanfaatkan AI untuk membaca tren isu publik melalui Google Trends atau analitik media sosial.
2. Branding – Membangun identitas media atau jurnalis pribadi dengan gaya visual dan tone yang konsisten.
3. Platform – Menentukan media publikasi utama, apakah Instagram, TikTok, YouTube, atau portal berita online.
4. Marketing – Menggunakan algoritma dan iklan berbayar untuk memperluas jangkauan.
5. Traffic & Conversion – Mengonversi audiens kasual menjadi pembaca tetap melalui tautan bio, newsletter, atau komunitas.
6. Automation – Mengintegrasikan chatbot dan notifikasi berbasis AI untuk menjaga interaksi audiens.
Jika langkah-langkah ini diadopsi, social media journalism bukan hanya tren sesaat, melainkan model ekosistem jurnalisme digital yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Prediksi Lima Tahun ke Depan
Dalam lima tahun mendatang, diperkirakan akan terjadi tiga perubahan besar:
Jurnalis sebagai Personal Brand – Wartawan akan tampil sebagai content creator dengan reputasi individual.
Berita Interaktif dan Visual – Narasi teks akan bertransformasi ke dalam bentuk video pendek, animasi AI, hingga cerita imersif berbasis AR/VR.
Kredibilitas vs Algoritma – Di tengah dominasi likes dan algoritma, jurnalis dituntut menjaga akurasi dan integritas informasi.
Menurut Salman, masa depan media bukan soal siapa yang tercepat, melainkan siapa yang paling adaptif terhadap perubahan. “AI dan media sosial hanyalah alat. Kualitas manusia di baliknya tetap menjadi pembeda,” tegasnya.
Penutup
Peran social media journalism di Indonesia kini berada di persimpangan antara peluang dan tantangan. Ia membuka ruang ekspresi luas sekaligus mempercepat distribusi informasi, namun juga menuntut tanggung jawab etis dan literasi digital yang lebih kuat.
Dengan pendekatan berbasis riset dan teknologi, jurnalis masa depan berpotensi menjadi bukan hanya penyampai berita, tetapi juga entrepreneur of information: pengelola data, kreator konten, sekaligus penjaga kebenaran di ruang digital.