Oleh: Rahma Nayali, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Kemajuan teknologi seolah membuat berita menyebar dalam hitungan detik. Naas, kemudahan akses digital justru menyingkirkan kiprah media konvensional. Generasi Z yang lebih suka konten singkat semakin tidak akrab dengan berita jurnalisme.
Generasi yang tumbuh bersama internet ini terbiasa menyelami linimasa, bukan membaca berita. Dalam jurnal “Social Media Activity And Trust In Digital Vs. Traditional News: A Quantitative Analysis”, 91 persen responden di Indonesia mengaku pertama kali mendapat berita dari media sosial.
Namun, apakah teknologi justru menjadi gerbang kemerosotan jurnalistik?
Kecenderungan Gen Z Konsumsi Berita Instan
Tak dapat dipungkiri, Folkative dan USSFeeds jadi akun paling laris di media sosial. Konten singkat dengan desain yang eye catching berhasil menyabet Gen Z sebagai peminat terbesar. Akun tersebut bahkan dianggap sebagai sumber informasi yang “kalcer”.
Keduanya sama-sama memberikan informasi terkini namun dikemas secara singkat dan menarik. Dengan rentang fokus rata-rata delapan detik, Gen Z butuh informasi instan yang bisa dipahami dalam sekali lihat. TikTok dan Instagram memfasilitasi kebutuhan itu sehingga platform ini lebih populer ketimbang media massa konvensional.
“Saya lebih nyaman baca berita di instagram karena visualnya menarik,” ujar Budi, seorang Gen Z dari Jawa Barat. Sama halnya dengan kebanyakan rekan seumur, Budi lebih sering mengakses informasi lewat media sosial.
Namun, kebiasaan cepat ini menimbulkan risiko. Data Survei Kepercayaan Publik 2023 menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap berita dari 61 persen menjadi 56 persen dibandingkan 2021. Meski media tradisional masih dianggap paling kredibel (59%), media sosial hanya dipercaya sekitar 41%. Alasan utama ketidakpercayaan ini adalah persepsi adanya bias, clickbait, dan beritanya lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi.
Sementara itu, aktivitas tinggi di media sosial justru berbanding lurus dengan kepercayaan pada berita di dalamnya. Semakin lama seseorang berselancar di TikTok, semakin besar kecenderungan percaya pada apa yang lewat di beranda. Adapun hal membuat Gen Z kecanduan adalah akses cepat, ruang interaktif lewat komentar, kreativitas konten, dan informasi real-time yang hadir bahkan saat peristiwa masih berlangsung.
Namun, kecepatan itu menyisakan celah. Berita di TikTok kerap berupa potongan tanpa konteks. Kadang akurat, kadang bias, dan rawan hoaks.
Skeptis dan Butuh Kredibilitas
Generasi Z menunjukkan sikap skeptis terhadap kredibilitas berita dari media sosial, meski mereka adalah pengguna aktif platform tersebut. Riset di Semarang menunjukkan hanya 36 persen percaya pada berita berbentuk infografis Instagram, dan hanya 28 persen percaya pada berita ringkas. Angka itu menegaskan, mereka tetap kritis.
“Tidak semua yang viral itu benar. Media jurnalistik melewati sumber berita yang kredibel dan ada cek fakta, sehingga lebih akurat,” sambung Budi. Baginya, media sosial penting untuk tahu cepat, tapi verifikasi tetap dicari dari media massa yang terpercaya.
Berita Instagram dan TikTok kerap kali disusupi oleh konten hoaks sehingga membuat Gen Z jadi mikir dua kali. Terlebih, penggunaan konten AI tanpa konteks semakin marak ditemukan. Hal ini membuat media sosial jadi sarang informasi yang cepat namun penuh berita tidak tepat.
Paradoks ini mencerminkan tantangan jurnalisme modern yang harus menyeimbangkan idealisme dan adaptasi pada pola konsumsi berita Gen Z yang lebih cepat dan visual, sekaligus menghadapi keraguan kredibilitas yang melekat pada konten di media sosial. Selain itu, jurnalis harus mengatasi keraguan terhadap kredibilitas konten di media sosial yang sering kali viral tanpa proses verifikasi yang memadai.
Era digital menuntut jurnalis untuk lebih melek teknologi tanpa mengesampingkan akurasi, integritas, dan verifikasi fakta. Jika tidak, jurnalisme berisiko kehilangan relevansi. Singkatnya, sikap kritis Gen Z mengindikasikan kebutuhan jurnalisme untuk berinovasi dan menjaga integritas, agar tetap relevan dan dipercaya di era digital yang serba cepat dan visual ini.
Lantas, bagaimana masa depan jurnalisme? Akankah habis digerus massa atau justru semakin dipercaya?
Menjemput Masa Depan Jurnalisme
Masa depan jurnalisme tidak terletak pada melawan media sosial, melainkan memanfaatkannya. TikTok dan Instagram bisa menjadi saluran informasi yang valid, selama konten yang disebarkan berasal dari sumber tepercaya. Media perlu beradaptasi, bukan sekadar menyalin gaya viral, tapi mengemas berita kredibel dengan format yang bisa diterima generasi digital.
Kuncinya ada pada literasi digital. Publik harus dibekali kemampuan memverifikasi sumber, mengenali bias, dan menyaring hoaks. Tanpa itu, banjir informasi hanya akan melahirkan kebingungan massal. Media massa jurnalistik juga harus aktif membangun engagement lintas platform. Format berita harus dikemas lebih interaktif dan menarik.
Di tengah gempuran kecerdasan buatan, jurnalis tetap punya peran yang tak tergantikan. Mesin bisa menulis cepat, tapi tak bisa menghadirkan empati, konteks, dan rasa hidup dalam berita. Hanya jurnalis yang bisa menjaga kepercayaan.
Alfons Yoshio Hartanto (Tirto.id), menegaskan jurnalis tidak perlu khawatir dengan perkembangan teknologi. Sebaliknya, harus dijadikan partner untuk menghasilkan berita yang aktual, akurat, dan faktual.
“Pekerjaan kreatif tidak bisa digantikan AI. Namun, jika kita tidak beradaptasi, kita akan digantikan oleh orang yang lebih memahami teknologi ini,” katanya saat menjadi narasumber Jurnalistik EXPO day di Politeknik Negeri Jakarta.