Penulis: Martha Ayu Winarno, mahasiswa Program Studi Penerbitan (Jurnalistik), Politeknik Negeri Jakarta.
Berpikir positif sering kali dianggap sebagai kunci hidup bahagia. Kita diajarkan untuk tetap tersenyum saat sedang sedih, bersyukur meski kecewa, dan melihat sisi terang di tengah kegelapan. Nasihat seperti “jangan mengeluh, tetap semangat” atau “semua akan baik-baik saja” terdengar menenangkan, namun bisa juga menjadi beban yang tak disadari.
Di tengah tekanan untuk selalu berpikir positif, banyak orang merasa tidak punya ruang untuk jujur pada emosi mereka sendiri. Mereka takut dianggap lemah jika menunjukkan kesedihan, takut dicap negatif jika menolak permintaan, dan akhirnya memilih untuk diam, mengalah, bahkan mengorbankan diri demi terlihat “kuat dan baik”.
Fenomena ini menunjukkan bahwa berpikir positif, jika dilakukan secara berlebihan atau tanpa keseimbangan emosional, bisa menjadi sumber luka batin. Di balik senyum yang dipaksakan dan sikap ramah yang tak pernah absen, sering kali tersembunyi kelelahan yang mendalam.
Menjadi Baik Tanpa Sadar Disakiti
Fenomena seperti ini tidak jarang kita temui. Banyak orang tumbuh dengan keyakinan bahwa menjadi baik berarti selalu mengutamakan orang lain. Sayangnya, jika tidak disertai kesadaran dan batasan diri, kebaikan itu bisa berbalik melukai.
Dalam istilah populer, mereka dikenal sebagai people pleaser. Sederhananya, people pleaser adalah orang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain, bahkan dengan mengorbankan kebutuhannya sendiri. Psikolog A. Kasandra Putranto menjelaskan bahwa tipe ini rentan mengalami kelelahan mental karena takut mengecewakan orang lain dan merasa tidak enakan untuk menolak permintaan.
Optimisme yang Tak Terkontrol Bisa Menyesatkan
Berpikir positif memang penting. Sikap ini membantu kita bangkit dari situasi sulit, memberi harapan, dan menjaga kesehatan mental. Namun, jika digunakan secara berlebihan atau dipaksakan, berpikir positif bisa berubah menjadi bumerang. Inilah yang disebut dengan toxic positivity.
Toxic positivity adalah sikap yang mendorong kita untuk menolak emosi negatif dan hanya menerima emosi positif. Misalnya, ketika seseorang merasa sedih atau kecewa, tapi memaksakan diri untuk tetap terlihat kuat dan berkata, “Aku baik-baik saja, aku yakin kebaikan akan dibalas dengan kebaikan,”. meskipun hatinya sedang tidak baik.
Menurut Katadata, toxic positivity membuat seseorang merasa bersalah saat menunjukkan emosi negatif, padahal emosi negatif adalah bagian dari kesehatan mental yang normal. Jika terus dipendam, perasaan negatif tersebut bisa menumpuk dan memicu stres hingga depresi.
Budaya ‘Tidak Enakan’ dan Relasi Tidak Seimbang
Di masyarakat Indonesia, ‘nggak enakan’ sering dianggap sebagai wujud sopan santun dan kepedulian terhadap orang lain. Namun, budaya ini sering menekan individu untuk terus mengalah dan menahan emosi demi menghindari konflik.
Psikolog Tara de Thouars menyatakan bahwa budaya ini bisa menimbulkan tekanan sosial yang membuat seseorang merasa wajib mengorbankan diri demi kenyamanan orang lain. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan stres, kelelahan emosional, dan relasi yang tidak sehat.
Kebaikan Tetap Perlu Batas
Terlalu sering mengatakan “iya” membuat seseorang kehilangan kendali atas waktu, tenaga, dan bahkan identitas dirinya. Inilah pentingnya personal boundaries atau batas pribadi.
People pleaser sering merasa bersalah jika tidak bisa membantu orang lain, padahal menjaga batas diri adalah bentuk empati terhadap diri sendiri. Menurut artikel di Tirto.id, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri saat gagal menyenangkan orang lain, yang pada akhirnya bisa menyebabkan kelelahan mental berkepanjangan
Solusi: Jadi Baik Tanpa Kehilangan Diri
Apakah kamu merasa terlalu mudah dimanfaatkan? Coba kenali tanda-tandanya:
•Kamu merasa bersalah setiap kali menolak permintaan.
•Orang-orang datang hanya saat mereka butuh bantuan.
•Hubungan sosial terasa berat sebelah.
•Kamu tak punya waktu atau tenaga untuk dirimu sendiri.
•Sulit membedakan antara kebaikan dan keterpaksaan.
Agar tetap bisa membantu tanpa merasa terpaksa, lakukan hal berikut:
1.Katakan “tidak” dengan sopan tapi tegas.
2.Tetapkan batasan waktu, tenaga, dan perhatian.
3.Evaluasi siapa saja yang layak mendapatkan bantuamu.
4.Hargai perasaanmu, bukan hanya orang lain.
5.Ingat bahwa empati untuk diri sendiri sama pentingnya.