Oleh: Maria Elisabeth Sitanggang, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Perubahan besar tengah melanda dunia media seiring pesatnya perkembangan teknologi digital. Arus informasi bergerak semakin cepat, sementara batas antara pembuat dan penerima berita kian kabur. Semangat adaptasi terhadap perubahan tersebut terlihat jelas dalam Journalistic Expo Day 2025: Journey yang digelar Program Studi Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) dengan tema “Cerdas Bermedia, Berdaya Berkarya.”
Dalam materi Workshop Periksa Fakta Tirto (September 2025) diungkapkan, sekitar 30–60 persen masyarakat Indonesia masih terpapar hoaks, sementara hanya 20–36 persen yang mampu mengenalinya. Fakta ini menegaskan bahwa meskipun akses informasi semakin luas, kemampuan masyarakat untuk memverifikasi kebenaran masih tergolong rendah.
Gelombang Disinformasi dan Tantangan Media
Era digital melahirkan hoaks yang semakin kompleks: mulai dari manipulasi digital, konten fabrikasi, hingga video deepfake yang sulit dibedakan dari kenyataan. Data Tirto.id bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, dari 240 artikel cek fakta pada Juni–November 2023, sebanyak 71 terkait isu politik menjelang Pemilu 2024. Sekitar 85 persen hoaks politik tersebar lewat Facebook, disusul TikTok dan X (Twitter).
Jenis hoaks yang paling banyak ditemukan berbentuk video dan teks dengan narasi provokatif. Panduan Tirto menyebut, penyebar disinformasi sengaja memainkan emosi publik dengan kata-kata seperti “terkejut,” “ternyata,” atau “dukung” untuk mendorong keterlibatan tanpa memastikan kebenaran.
Fenomena ini menunjukkan media tak lagi hanya sebagai penyampai berita, tetapi juga harus menjadi penjaga kebenaran digital melalui praktik jurnalisme verifikasi.
Inovasi Teknologi dan Peran Etika
Kemajuan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) memberi efisiensi bagi ruang redaksi, mulai dari otomatisasi penulisan berita hingga analisis tren pembaca. Namun, AI juga menghadirkan risiko baru berupa manipulasi informasi berbasis algoritma dan penciptaan konten palsu.
Najwa Shihab, pendiri Narasi TV, dalam World Meeting on Human Fraternity 2025 menyoroti bahwa platform digital sering memperbesar emosi, menyebarkan kebohongan, dan memanfaatkan perpecahan. Ia juga mengingatkan potensi deepfake yang bisa merusak kepercayaan publik. Meski begitu, Najwa tetap optimis, dengan catatan bahwa optimisme harus disertai kehati-hatian di tengah derasnya perkembangan teknologi.
Arah Jurnalisme ke Depan
Berdasarkan analisis Tirto dan pandangan praktisi, jurnalisme Indonesia dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang diprediksi mengarah pada:
1. Jurnalisme Verifikasi dan Transparansi
Praktik fact-checking akan lebih sistematis. Penggunaan alat seperti Google Reverse Image, InVID, dan Hive Moderation akan menjadi standar redaksi untuk menelusuri gambar, video, dan metadata.
2. Integrasi AI yang Etis dan Manusiawi
AI akan membantu mengolah data besar, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan manusia. Media bijak akan menempatkan AI sebagai pendukung, bukan pengganti jurnalis.
3. Munculnya Media Komunitas dan Kolaboratif
Kolaborasi antarmedia dan lembaga pemeriksa fakta seperti CekFakta.com atau MAFINDO akan memperkuat jurnalisme berbasis komunitas dan independen, mengurangi ketergantungan pada iklan politik.
Jurnalisme Indonesia kini berada di persimpangan antara inovasi teknologi dan tanggung jawab moral. Arus informasi yang cepat menuntut media beradaptasi, namun hanya yang menjunjung kejujuran serta verifikasi yang akan bertahan.
Seperti dirumuskan dalam Workshop Tirto 2025, masa depan jurnalisme tidak hanya ditentukan oleh teknologi, melainkan oleh kemampuan manusia memahami konteks, etika, dan kebenaran di balik setiap berita.
Media masa depan bukanlah yang tercepat, melainkan yang paling dapat dipercaya. Sebab di tengah derasnya arus informasi palsu, kredibilitas adalah mata uang utama jurnalisme sesungguhnya.