Penulis: Michelle Audelia Mahasiswa Binus University
Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu babak kelam dalam sejarah modern Indonesia yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsa ini. Peristiwa ini tidak hanya menandai runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang telah berlangsung 32 tahun di bawah Presiden Soeharto, tetapi juga menjadi manifestasi dari trauma sosial dan politik yang kompleks, serta titik awal bagi transformasi menuju era Reformasi.
Kerusuhan ini berakar dari krisis moneter Asia yang melanda Indonesia sejak tahun 1997-1998, menyebabkan gejolak ekonomi dan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dinamika sosial dan politik yang memanas mencapai puncaknya pada pertengahan Mei 1998. Pemicu langsung kerusuhan adalah tragedi penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Kejadian ini memicu gelombang demonstrasi yang kemudian meluas menjadi kerusuhan massal di berbagai kota, termasuk Jakarta dan Solo.
Kekerasan yang terjadi selama Kerusuhan Mei 1998 sangat brutal dan multidimensional. Selain penjarahan dan pembakaran fasilitas umum serta properti, kerusuhan ini juga diwarnai dengan aksi kekerasan yang berbau rasial, di mana etnis Tionghoa menjadi sasaran utama. Salah satu aspek paling menyedihkan dan traumatis dari peristiwa ini adalah laporan mengenai tindak kekerasan seksual massal, khususnya terhadap perempuan dari etnis Tionghoa. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) melaporkan adanya 92 kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual selama periode kerusuhan, yang salah satunya adalah kisah Lina, seorang gadis berusia 14 tahun yang menjadi korban pemerkosaan beramai-ramai saat dalam perjalanan pulang sekolah, serta Dini (29 tahun) yang diculik dan diperkosa setelah meninggalkan kantornya. Kekerasan-kekerasan ini menyisakan trauma berkepanjangan bagi para korban dan keluarga, serta menjadi noda hitam dalam sejarah kemanusiaan bangsa.
Meskipun menyisakan trauma mendalam, Kerusuhan Mei 1998 juga menjadi katalisator bagi perubahan besar. Tekanan publik dan mahasiswa yang masif, ditambah dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintah, memaksa Presiden Soeharto yang saat itu sedang berada di Kairo, Mesir, untuk kembali ke tanah air dan akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998. Momen ini secara resmi mengakhiri era Orde Baru dan membuka gerbang menuju era Reformasi, sebuah periode di mana Indonesia memulai upaya untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel.
Dengan meninjau kembali Kerusuhan Mei 1998, kita tidak hanya mengenang tragedi dan trauma yang ditimbulkannya, tetapi juga memahami bahwa peristiwa tersebut adalah bagian integral dari perjalanan bangsa menuju transformasi. Pengalaman pahit ini menjadi
pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga persatuan, menghormati hak asasi manusia, dan membangun masyarakat yang adil dan beradab. Memori kolektif akan kerusuhan ini harus terus dijaga agar sejarah kelam tidak terulang kembali, dan agar nilai-nilai demokrasi serta toleransi dapat terus tumbuh dan berkembang di Indonesia.