Samarinda –Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) untuk dua perkara terkait Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sidang ini berlangsung di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda, pada Kamis, 25 September 2025. Acara ini menyoroti kontroversi penetapan calon bupati yang berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di wilayah tersebut.
Sidang difokuskan pada Perkara Nomor 152-PKE-DKPP/V/2025 dan 153-PKE-DKPP/V/2025. Pengadu utama adalah Muhammad Yusup, yang diwakili oleh kuasanya, La Ode Ali Imran. Pengadu menyoroti dugaan kelalaian penyelenggara pemilu tingkat kabupaten dalam menanggapi masukan masyarakat terkait kelayakan calon. Teradu pertama pada perkara 152 melibatkan pimpinan dan anggota KPU Kabupaten Kutai Kartanegara, yaitu Rudi Gunawan sebagai ketua, serta Muchammad Amin, Muhammad Rahman, Purnomo, dan Wiwin. Sementara itu, perkara 153 menargetkan pimpinan dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat, yakni Teguh Wibowo sebagai ketua, Munir Ansori, Fahrisal, Hardianda, dan Sri Muliati Ningsih.
Majelis sidang dipimpin oleh J. Kristiadi sebagai ketua, didampingi Hairul Anwar dari unsur masyarakat Tim Penyelenggara Daerah (TPD) Provinsi Kalimantan Timur, Daini Rahmat dari unsur Bawaslu, serta Ramaon Dearnov Saragih dari unsur KPU. Pihak terkait yang hadir mencakup anggota KPU Republik Indonesia, KPU Provinsi Kalimantan Timur, Bawaslu Provinsi Kalimantan Timur, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Otda Kemendagri), serta tim kampanye Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara nomor urut 1.
Pokok aduan kedua perkara ini berakar pada Putusan MK Nomor 195/PHPU.BUP-XXIII/2025. Putusan tersebut mendiskualifikasi Edi Damansyah sebagai calon bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024. MK menilai Edi Damansyah telah menjalani dua periode jabatan sebagai bupati, yang melanggar ketentuan konstitusi tentang batas masa jabatan kepala daerah. Pengadu menilai bahwa KPU Kabupaten Kutai Kartanegara telah mengabaikan tanggapan dan masukan dari masyarakat selama proses penetapan calon. Hal ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran etika, karena penyelenggara seharusnya memastikan kelayakan calon sesuai regulasi sebelum tahap pencalonan berlanjut.
Proses penetapan Edi Damansyah sebagai calon bupati nomor urut 1 pada Pilkada 2024 sempat menuai protes dari berbagai pihak. Masyarakat dan tim kampanye lawan menyampaikan keberatan, termasuk dugaan ketidaksesuaian riwayat jabatan Edi Damansyah. Namun, KPU setempat tetap melanjutkan penetapan, yang akhirnya dibatalkan MK setelah gugatan sengketa pilkada. Akibatnya, wilayah Kutai Kartanegara mengalami PSU, yang memakan waktu dan biaya tambahan bagi penyelenggara pemilu serta memengaruhi kepercayaan publik terhadap integritas proses demokrasi lokal.
Sidang ini merupakan tahap pemeriksaan awal oleh DKPP, yang bertugas menjaga marwah penyelenggara pemilu melalui penegakan KEPP. DKPP, sebagai lembaga independen, memiliki wewenang untuk memeriksa dugaan pelanggaran etika mulai dari tingkat nasional hingga daerah. Dalam konteks Pilkada 2024 serentak, kasus seperti ini menekankan pentingnya kepatuhan terhadap putusan lembaga yudisial seperti MK. Pengabaian masukan masyarakat tidak hanya berpotensi melanggar etika, tetapi juga dapat merusak prinsip pemilu yang adil, jujur, dan transparan.
Pilkada Kutai Kartanegara menjadi salah satu sorotan nasional karena isu diskualifikasi calon. Kutai Kartanegara, sebagai kabupaten kaya sumber daya alam di Kalimantan Timur, memiliki sejarah politik yang dinamis. Edi Damansyah, yang sebelumnya menjabat bupati dua periode, sempat menjadi figur kuat dalam kontestasi lokal. Diskualifikasinya memicu perdebatan tentang interpretasi aturan masa jabatan, di mana MK menegaskan bahwa dua periode berturut-turut atau tidak tetap dibatasi oleh konstitusi.
Selama sidang, majelis mendengarkan keterangan dari pengadu dan teradu, serta pihak terkait. Proses ini bertujuan untuk mengumpulkan bukti dan fakta guna menentukan apakah terdapat pelanggaran etika yang memerlukan sanksi. Sanksi DKPP bisa berupa teguran tertulis, peringatan, hingga pemberhentian sementara atau permanen dari jabatan penyelenggara. Namun, hingga penutupan sidang, belum ada putusan akhir yang diumumkan. Majelis diharapkan segera menyusun rekomendasi berdasarkan pemeriksaan mendalam.
Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu di daerah lain. Di tengah momentum Pilkada serentak 2024, integritas KPU dan Bawaslu menjadi kunci keberhasilan demokrasi. Pengawasan ketat terhadap proses pencalonan dapat mencegah sengketa lanjutan yang membebani sistem pemilu. Pemerintah daerah dan Kementerian Dalam Negeri, melalui Ditjen Otda, turut terlibat untuk memastikan koordinasi antarlembaga dalam menangani dampak PSU.
Dengan adanya sidang ini, diharapkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggara pemilu semakin terjaga. Masyarakat Kutai Kartanegara menanti hasil akhir untuk memulihkan kepercayaan terhadap proses demokrasi lokal. DKPP terus berkomitmen menegakkan etika pemilu, memastikan bahwa pelanggaran tidak dibiarkan merusak fondasi demokrasi Indonesia.